Jumat, 06 September 2013

Mencari Kadilan Atas Putusan MA

Putusan hakim kasasi Mahkamah Agung (MA) yang mewajibkan Asian Agri Group (AGG) membayar denda pajak sebesar Rp2,519 triliun, selain tidak rasional juga  dirasakan sangat memberatkan bagi perusahaan. 


Bukan bermaksud ingin mendapatkan perlakuan khusus dan lari dari tanggung jawanya, pihak manajemen pun terus berjuang mendapatkan keadilan atas putusan MA tersebut.

Keberatan terdapap vonis MA tersebut sebelumnya dilontarkan oleh Freddy Widjaya, general manager (GM) Asian Agri di Pangkalan Kelinci, Palelawan, Riau belum lama ini. “Kami keberatan atas putusan MA tersebut. Walau begitu, kami tetap komit pada Indonesia dan tidak mungkin menolak Ditjen Pajak. Kami juga tidak mau perlakuan khusus, yang kami inginkan hanya perlakuan hukum yang adil," ucap Freddy.

Menurut dia, kasus pajak yang menimpa perusahaannya lebih bernuansa politik, tidak lagi murni sebagai kasus pajak. Karena secara logika, tidak mungkin Asian Agri membayar pajak lebih besar dari PT Astra Agro Lestari (AAL) yang memiliki bisnis kelapa sawit terbesar. “Asian Agri kan hanya nomer 2 di bawah Astra. Jadi tidak mungkin kami membayar pajak lebih besar (dari Astra-red)," terangnya.

Selain itu, selama periode 2002 – 2005, total penghasilan bersih AAG hanya mencapai Rp1,24 triliun. Dengan demikian, jika pajak yang dikenakan sebesar Rp1,25 triliun, maka artinya tarif pajak yang dikenakan adalah 100 persen. “Namun kami akan tetap kooperatif, sambil tetap melakukan PK," kata Freddy.

Sebagaimana diketahui, pada akhir 2012 lalu pengadilan kasasi MA memutuskan mantan manajer pajak Asian Agri, Suwir Laut, bersalah dan dihukum pidana penjara dua tahun dengan masa percobaan selama tiga tahun.

Selain itu, MA memutuskan 14 perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG), yang pengisian SPT tahunannya diwakili terdakwa, wajib membayar sejumlah 2 x Rp1.259.977.695.652, yaitu menjadi Rp2.519.955.391.304 secara tunai dalam waktu satu tahun ke depan.

Dengan kata lain, putusan tersebut merupakan perkara penggelapan pajak yang diputuskan sebagai corporate liability (pertanggung jawaban perusahaan), dimana perusahaan bertanggung jawab atap perbuatan pidana pegawainya.

Tidak Lazim dan Kacaukan Proses Hukum

Di kalangan praktisi dan pakar hukum sendiri, putusan MA yang mewajibkan Asian Agri membayar pajak sebesar Rp 2,5 triliun, mendapat banyak kritikan. Pakar hukum pidana Indrianto Senoadji misalnya. Menilai, putusan MA tersebut merupakan keputusan yang tidak lazim dan satu-satunya di dunia. Sebab, persoalan pajak bersifat lex specialist dan hanya bisa diputuskan oleh orang-orang pajak yang sangat mengerti betul mengenai seluk beluk perpajakan.

”Jadi sangat tidak rasional orang di luar pajak tiba-tiba mengerti dan menjatuhkan putusan atas denda pajak terhadap Wajib Pajak (WP), tandas Indrianto pada sebuah kesempatan.

Menurut dia, MA tidak tepat dalam memvonis bayar denda pajak Rp2,5 triliun terhadap perusahaan perkebunan Asian Agri, berkaitan putusan perkara pidana terpidana Suwir Laut yang dihukum 2 tahun penjara dalam kasus pajak.

“Asian Agri bukan subyek pidana dalam kasus terpidana Suwir Laut, sehingga tidak dapat dikenakan hukuman pidana berupa denda maupun ganti kerugian. Putusan itu sangat keliru dalam penerapan hukumnya,” papar dia.

Wakil Ketua Komite Tetap Pajak Kadin itu juga menilai, dalam banyak kasus sengketa pajak, putusan pengadilan pajak kerap subyektif. “Jangankan MA, keputusan  yang ditetapkan  pengadilan pajak kerap subyektif. Ini karena banyak putusan ditetapkan hanya dengan mengacu kepada pendapat pegawai pajak yang juga belum tentu mempunyai pengetahuan pajak yang mumpuni,” kata Prijohandojo.

Sementara pakar hukum pidana Chaerul Huda berpendapat, putusan majelis hakim MA yangt menghukum AAG membayar denda triiliunan rupiah itu bisa berdampak pada kekacauan tatanan proses hukum.

Pasalnya, kesalahan yang dilakukan oleh karyawan, tidak seharusnya perusahaan yang juga menerima hukuman. "Ini menimbulkan kekacauan, karena ini kasus pertama karyawan yang menjadi terpidana, tapi perusahaan yang dihukum," tegas Chaerul.

Menurut dia, MA dan Kejaksaan Agung (Kejagung) telah melakukan ‘akrobatik’ hukum dengan menghukum sebuah korporasi. Padahal yang bersalah adalah seorang karyawan.

Dia juga berpendapat, jika Asian Agri tidak membayar denda yang diperintahkan majelis hakim tersebut, maka tidak ada yang bisa ditahan sebagai pengganti hukuman (subsider).

Sementara pakar hukum Romli Atmasasmita menilai, keluarnya putusan MA yang mewajibkan AAG  membayar denda pajak sangat aneh. "Kasus ini aneh karena Asian Agri Group tidak pernah didakwa sebelumnya. Yang didakwa Suwir Laut, yang mantan Manager Pajak Asian Agri yang kini divonis 2 tahun penjara," kata Romli.

Guru Besar Unpad Bandung itu menyatakan kasus Asian Agri bukan korupsi pajak melainkan pidana pajak. Dimana dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) Tahun 1983, yang bisa dikenai dakwaan korupsi pajak adalah petugas pajak (fiscus) bukan wajib pajak.

"Apalagi ini wajib pajaknya sudah kooperatif dengan bersedia membayar denda. Pengadilan harus memutuskan suatu perbuatan yang didakwakan kepada seseorang, dalam hal ini Suwir Laut, bukan Asian Agri Group," tandas Romli.

Dia juga mengungkapkan, dalam kasus ini telah terjadi error in persona atau suatu dakwaan atau gugatan dialamatkan kepada orang yang salah. Oleh karena itu, aset perusahaan tidak boleh disita karena tidak terkait. Selain itu, putusan tersebut juga non executable atau tidak berdasar. Karena dari 14 perusahaan yang bernaung di bawah AAG, 8 diantarnya telah membayarkan pajaknya. Sementara 6 perusahaan lainnya masih dalam proses penyelesaian.

Ramli lebih jauh mengatakan, situasi dilematis seperti ini bisa menjadi ancaman bagi iklim usaha di Indonesia. Karena dengan kasus ini membuat pengusaha takut berinvestasi, akibat tidak adanya ketidakpastian hukum.

Sementara menurut mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Machfud Sidik, kasus pajak Asian Agri bukan tergolong dalam kasus pidana, melainkan kasus administrasi pajak. Dimana kalau pajak beserta dendanya sudah dibayarkan oleh penunggak pajak, maka kasusnya dianggap selesai.

"Kalau melihat urutannya dari pengadilan pajak sampai ke MA, itu merupakan kasus administrasi pajak. Jadi kalau Asian Agri sudah membayar pajak berikut dendanya, ya kasus itu dianggap selesai," jelas Mahfud.

Tidak Masuk Akal

Pengamat ekonomi Faisal Basri menilai, sanksi denda dan pembayaran pajak Asian Agri sangat tidak masuk akal. Karena bagaimana mungkin Asian Agri menggelapkan pajak sebesar Rp1,25 triliun yang sama dengan pendapatannya pada tahun bersangkutan (2002 2005-red). “Ini tidak rasional dan berpeluang untuk ditinjau kembali.”

Menurut Faisal, untuk menghindari sentimen pihak-pihak tertentu, seharusnya perhitungan atas pajak Asian Agri tersebut mengacu kepada laporan keuangan perusahaan. Bukan hanya berdasarkan laporan orang atau pihak tertentu.

Dia menduga, seperti juga terjadi dalam banyak sengketa pajak -- ada pihak tertentu yang sengaja menggiring opini publik untuk menyalahkan wajib pajak. Karena itu, harus dilihat latar belakang permasalahan dan melihat latar belakang orang-orang yang memutuskannya.


Asian Agri masih jauh lebih baik dibandingkan kebanyakan perusahaan sawit lainnya. Karena merupakan salah satu pembayar pajak yang cukup besar. Masih banyak perusahaan sawit besar yang malah membayar pajak dengan nilai sangat kecil,” tambahnya
(***)

Rabu, 04 September 2013

Wharton GFDP Gerbang Peneliti Masuki Pergaulan Global



Penulisan di jurnal ilmiah terakreditasi nasional dan internasional, seharusnya wajib hukumnya bagi para dosen dan peneliti di perguruan tinggi. Karena hal ini bisa menjadi pintu masuk dalam pergaulan akademisi global.

Tapi untuk mendapat kesempatan agar makalah ilmiah kita diterima dan dipublikasikan di jurnal nasional maupun internasional, tentulah bukan perkara mudah. Terlebih untuk jurnal internasional, tentunya banyak kriteria dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam penyusunan karya ilmiah tersebut.

Sadar akan kenyataan ini, Tanoto Foundation International (TFI) menggandeng The Wharthon School of the University of Pennsylvania, Amerika Serikat (AS) untuk menyelenggarakan Wharton Global Faculty Development Program (WGFDP). Program pelatihan ini ditujukan bagi para dosen dan peneliti dari kawasan Asia, Eropa dan Afrika untuk belajar membuat karya ilmiah yang sesuai dengan standar dan kriteri jurnal internasional.

Menurut Anderson Tanoto, anggota Dewan Pembina TFI, pihaknya berkomitmen untuk mendukung perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. 
“Salah satu dukungan itu melalui Tanoto Initiative at the Wharton School. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kerjasama antara Wharton School dan perguruan-perguruan tinggi di Indonesia untuk pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan,” kata Anderson.

Anderson berpendapat, Indonesia dengan populasi terbesar keempat di dunia, dan merupakan salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di ASEAN seharusnya memprioritaskan pendidikan. “Indonesia adalah lahan yang subur untuk riset kelas dunia tentang bisnis di Asia serta untuk pengembangan akademik di bidang kepemimpinan bisnis.”

Dia juga mengungkapkan, Tanoto Foundation telah memberikan lebih dari 20.000 beasiswa  dan fasilitas pendidikan yang meluluskan lebih dari 27.000 pelajar dari berbagai tingkat pendidikan. Tanoto Foundation juga mengembangkan 60.000 hektar Community Livehood Plantations dan menciptakan lebih dari 1.800 lapangan pekerjaan untuk masyarakat di perdesaan melalui program Usaha kecil dan Menengah (UKM).
  
Belajar dari Ahlinya

Tahun ini penyelenggaraan WGFDP dikuti oleh 16 peserta yang merupakan perwakilan akademisi dari berbagai perguruan tinggi di kawasan Asia, Eropa dan Afrika. Dari Indionesia terpilih dua perwakilan, yaitu dari Universitas Indonesia (UI) yang diwakili oleh ketua Laboratorium Studi Manajemen, Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi (FE UI) Aryana Satrya. Sementara satu lagi dari Universitas Gajah Mada yang diwakili oleh Deputi Direktur Bidang Pelatihan Fakultas Ekonomi UGM Nurul Indarti.

Menurut Aryana, selain berbagi ilmu dan pengalaman ilmiah dengan para peneliti dari berbagai negara, para peserta berkesempatan untuk bertemu dan mendapatkan ilmu langsung dengan para  professor dari Wharton yang terbiasa dan piawai dalam menulis artikel di jurnal-jurnal akademik internasional.

“Ini merupakan pengalaman berharga. Kami mendapatkan berbagai pengetahuan baru mengenai bagaimana menulis sebuah artikel ilmiah yang baik dan sesuai standar sebuah jurnal ilmiah internasional,” papar Aryana.

Sementara itu, Nurul berpendapat, pelatihan itu memberikan pengayaan dan menambah wawasan kepada peserta mengenai teknik penulisan jurnal internasional. Apalagi, kata Nurul, para pengajarnya adalah tujuh  profesor Wharton School yang merupakan penulis manajemen kelas dunia.

“Mereka adalah penulis-penulis terbaik di sejumlah jurnal manajemen internatsional seperti, Academy of Management Journal, Administrative Science Quarterly, Strategyic Management Journal, dan Organization Science,” kata Nurul.

Baik Aryana maupun Nurul mengatakan, penulisan  jurnal ilmiah yang baik, selain didukung dan mengungkap  data-data yang otentik, juga harus terbuka terhadap kritik dan masukan pihak lain. “Itu pula yang dilakukan oleh para professor hebat tersebut,” kata Aryana.

Pengalaman dan pengetahuan ini, lanjut Aryana, akan dibagikan dengan rekan-rekan peneliti di UI. Khususnya dalam menyusun jurnal ilmiah. ”Termasuk juga bagaimana masukan dan tips-tipsnya. Ini juga akan saya terapkan dalam mengelola jurnal ilmiah yang dimiliki UI, khususnya jurnal South East Asian Management (SEAM) yang sudah diakui di kalangan peneliti internasional”.

Bangun Jejaring Internasional

Aryana dan Nurul juga menilai, keikutsertaan mereka dalam pelatihan WGFDP 2013 ini, selain memberikan pengalaman dan manfaat berharga, juga membuka peluang mereka membangun jejaring dengan kalangan peneliti internasiuonal. Sehingga memungkinkan bagi para peneliti dan kalangan akademisi Indonesia untuk melaksanakan penelitian bersama-sama dengan para peneliti lain dari luar negeri.

“Dengan adanya jejaring ini, di masa mendatang para peneliti dari UI maupun UGM bisa bekerjasama dengan peneliti-peneliti dari negara lain, untuk melakukan penelitian bersama,” tambah Aryana. (****)

Kamis, 28 Maret 2013

Arie Malangjudo, Wadirut PT SEM


Berburu Induk Sawit 
Hingga Ke Amazon dan Afrika
BICARA pusat pembenihan kelapa sawit, pasti yang terlintas dalam pikiran kita adalah Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, Sumatera Utara, Socfin, Lonsum atau produsen benih lain yang mayoritas berada di Sumatera. Selain itu, kecuali PPKS, hampir semua produsen benih sawit itu adalah juga merupakan pemilik perkebuanan kelapa sawit. 

Tapi sejak beberapa tahun terakhir, Pulau Jawa juga sudah memiliki sentra pembenihan kelapa sawit sendiri. Lokasinya berada dalam komplek Tman Wisata Buah Mekarsari di kawasan Cilengsi, Bogor, Jawa Barat. Produsennya dalah PT Sasaran Ehsan Mekarsari (PT SEM), yang merupakan anak usaha PT Mekar Unggul Sari, pengelola Taman Buah Mekarsari. 

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai bisnis pembenihan kelapa sawit yang dilakukan Grup Mekarsari ini, tim HORTUS Archipelago berkesempatan berkunjung dan mewawancarai langsung Wakil Direktur Utama (Wadirut) PT SEM Arie Malangjudo, yang didampingi salah seorang Direktur SEM Reza Tirtawinata, Direktur R&D SEM Grogori G. Hambali dan beberapa staf lainnya. Berikut nukilannya:  

Bisa dijelaskan bagaimana hingga Mekarsari akhirnya memutuskan untuk berbisnis pembenihan kelapa sawit sendiri?

Kita sih maunya bukan hanya sawit, tapi juga yang lain. Tapi kerena kita mengelola sawit, maka kita putuskan untuk membuat pembenihan kelapa sawit. Apalagi, kami didukung dengan koleksi tanaman sawit yang lengkap, yang sudah mulai dilaksanakan pada sekitar tahun 1992.

Tapi sebenarnya, kami baru memutuskan untuk mulai serius menggarap pembenihan kelapa sawit dalam waktu 10 tahun terakhir ini, atau sekitar tahun 2003. Dan induknya, kami pilih dari koleksi yang kami miliki tersebut.

Tapi kalau kita mungkin lebih low profile. Tapi yang pasti untuk mendapatkan benih unggul, kami mengirim orang keberbagai belahan dunia, seperti ke Amazon, Afrika dan yang lainnya. Karena menurut kami, makin banyak genetic base yang dimiliki, akan semakin bagus. 

Sementara kalau kita lihat selama ini di Indonesia, induk benihnya hanya berputar-putar pada empat klon yang ada di kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Padahal kalau mau jujur, jika ada orang menyebut punya varietas unggul dari Amerika Latin, kita sudah punya dari dulu. Cuma memang kita tidak mau ngomong saja. Olivera, kata orang bagus, kita sudah punya dari dulu.

Kalau boleh tahu, induk sawit apa saja yang saat ini dimiliki SEM?

Kalau ditanya jenisnya apa saja, rasanya induk sawit yang kita miliki paling lengkap dibanding yang lain. Kalau kita bicara varietas Olivera dari Afrika, yang sekarang banyak diminati orang, kita juga punya. Begitu juga dengan varietas Valgo, kita juga sudah punya dari dulu.

Dan yang perlu juga menjadi catatan, bahwa pohon induk yang kami miliki tersebut berada dalam satu lokasi. Bukan terpencar, seperti yang terjadi di perusahaan pembenihan lain. Jadi kalau ada orang yang menanyakan pohon induknya mana, kami bisa langsung menunjukannya. Karena memang telah kami kumpulkan dalam satu tempat.

Kalau dalam perkembangannya ada pohon induk yang masih berada di lokasi lain, maka akan kami pindahkan. Karenanya kami juga tengah mengkaji untuk membeli alat yang bisa digunakan untuk secara langsung memindahkan pohon induk, tanpa merusak struktur akarnya.

Berapa luas areal yang disiapkan untuk pengembangan pohon induk?

Saat ini luas lahan yang secara khusus kami kembangkan untuk pohon induk adalah 307 hektar. Sementara yang kapasitasnya sudah penuh, sebanyak 11 hektar, dimana tiap hektarnya terdapat 136 pohon induk. Satu pohon induk yang kami miliki, bisa menghasilkan antara 8.000 sampai 10 ribu biji per tahun. 

Memang tidak semua pohon koleksi yang kami miliki itu, dipilih sebagai pohon induk. Bisa dibilang ada pohon terpilih, dan ada yang tidak terpilih. Saat ini pohon inuduk yang kami tetapkan sebagai pohon terpilih, jumlah ada sekitar 800 pohon.

Apakah bisnis pembenihan kelapa sawit PT SEM ini akan berkompetitor dengan PPKS Medan atau pengembang benih sawit lain?

Saya rasa tidak. Karena kalau di benih sawit, tidak ada yang namanya persaingan. Yang ada justeru saling membangtu dan melengkapi. Agar sawit Indonesia bukan hanya dibanggakan menjadi nomor satu di dunia karena luas areal perkebunannya saja. Tapi juga dari segi produktivitasnya.

Apalagi di bisnis pembeihan ini, kita tidak bisa mengklaim lebih unggul dari benih yang dihasilkan produsen lainnya. Karena setiap beih punya spesifikasi tersendiri yang pada akhirnya akan sangat tergantung pada pengaplikasiannya di lapangan. Kalau aplikasinya tidak sesuai dengan yang seharusnya, ya hasilnya juga tidak akan seperti yang diharapkan. Karena semua kembali pada manajemen penanamannya. 

Kenapa baru sekarang fokus pada penjualan benih hasil pengembangan sendiri?

Karena ini kan baru di-launching pada bulan Februari 2012, setelah keluarnya surat ijin dari Kementerian Pertanian (Kementan). Karena taat azas, maka kita belum berani langsung jualan secara komersial. Kalau orang lain, mungkin sudah langsung gembar-gembor.

Sebab kami berprinsif, kalau ijinnya baru didapatkan bulan Februari, maka butuh waktu sekitar enam bulan untuk pohon indukan itu menghasilkan buah, setelah itu masih dibutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk diproses menjadi kecambah. Selain itu, karena pohon induknya diambil dari koleksi yang kami miliki, maka butuh waktu yang lama untuk bisa menghasilkan benih yang benar-benar unggul dan siap disalurkan ke masyarakat.

Setidaknya untuk menghasilkan benih yang benar-benar unggul, dibutuhkan waktu antara delapan sampai 15 tahun. Saat ini benih sawit yang kami pasarkan adalah varietas benih unggul yang diberinama SEU Supreme, yang merupakan persilangan dari pohon induk milik SEU.

Kalau boleh tahu, benih ini dihasilkan dari persilangan klon apa saja?

Benih ini sebenarnya merupakan persilangan dari berbagai klon. Karena kita ingin menghasilkan varietas yang punya banyak keunggulan. Bukan hanya produktivitasnya yang tinggi, tapi juga bis atahan dan berkembang dalam kondisi cekaman iklim. Terus terang, untuk menghasilkan varietas seperti ini, tentunya tidak bisa hanya dari persilangan satu atau dua klon saja. Untuk Supreme ini, setidaknya ada enam jenis klon yang kita silangkan. Ada Olivera-nya, ada Lame-nya dan lainnya.

Jadi bisa dibilang, benih ini blasteran. Karena dia hasil perkawinan dari berbagai berbagai klon. Kalau kita ibaratkan bintang film, bisa dibilang cantik lah. Karena induknya banyak, tapi yang utamanya adalah Deli Dura. Sementara kalau bapaknya, yang utama adalah Apros Pisifera.

Keunggulan dari verietas Supreme ini apa? Dan apakah sudah diujicobakan di lapangan?

Keunggulannya, yang jelas pohonnya pendek dan sudah mulai berbuah pada usia tanam dua tahun. Dari segi produktivitasnya buahnya, sebanarnya kita tidak pernah mendeklarasikan. Tapi dari pengalaman orang yang sudah menanam benih kami ini, kapasitasnya bisa mencapai 35 – 40 ton per hektar per tahun.

Untuk pengujian lapangan, kita sebenarnya sudah banyak. Karena sudah mulai dari tahun 1997. Ada yang di Sumatera, di Jambi, di Kalimantan Timur dan daerah lainnya. Tapi kebun yang menjadi percontohan kami ada di wilayah Kubu Raya, Kalimantan Barat. Disana kami punya tiga demplot di tempat terpisah yang total luasnya sekitar sembilan hektar.

Usia pohonnya saat ini baru sekitar 2,5 tahun, tapi sudah menghasilkan buah (Tandan Buah Segar/TBS) sekitar tujuh ton per hektar. Sementara di kebun lain di wilayah Kalimantan Timur, saat panen kedua totalnya sudah mencapai 18 ton per hektar.

Berapa banyak benih yang sudah siap untuk dipasarkan tahun ini?

Untuk tahun ini, kita targetkan sebanyak 6 juta benih. Tapi yang perlu juga kami sampaikan, dalam menjual benih ini, kami tidak sebatas pada menjual produk tapi juga memberikan pelayanan kepada pembeli. Karena sebagus apapun benih yang telah kita hasilkan, kalau aplikasi di lapangan tidak sesuai maka besar kemungkinan tidak sesuai harapan.

Karena itulah dalam penjualan benih ini, kami juga meberikan pelayanan berupa pendampingan kepada pelanggan. Kami kami ajarkan bagaimana cara menanamnya, cara merawatnya, dan lainnya. Kita juga buat demplot di lokasi tanam, sebagai perbandingan sekaligus untuk pelatihan.

Jadi intinya, yang kami lakukan dalam menjual benih ini terintegrasi. Mulai dari mengantar langsung benih kepada pembeli (sampai tingkat kabupaten/kota atau lokasi terdekat), hingga memberikan pendampingan dan pelatihan di lapangan. Ini juga kami lakukan untuk menghindari pemalsuan benih, yang saat ini sangat banyak terjadi di Indonesia ini.

Selain Supreme ini, apakah masih ada varietas benih lain yang saat ini tengah dikembnagkan SEM?

Rencananya kami juga akan mengembangkan benih sawit yang mampu hidup dan berproduksi dengan baik di wilayah sub-tropis. Untuk ini saya telah mem-push brider kami untuk mulai membuat riset dan mengkaji untuk mengembangkan benih sawit seperti ini. Karena terus terang ini merupakan peluang pasar yang sangat luar biasa. Seperti Cina, Kamboja, Vietnam dan lainnya.

Sampai saat ini progresnya bagaimana?

Kita memang untuk saat ini belum bisa ekspos, karena belum memberikan hasil yang terlalu menggembirakan. Tapi rencananya untuk ujicoba, benih ini nantinya akan kami tanam dulu di lereng gunung dengan ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut. Kebetulan Ibu (Almarhum Ibu Tien Suharto) punya lahan dengan ketinggian seperti itu. Rencananya, nanti akan kita coba tanam dulu di lokasi itu.

Apakah mungkin benih seperti ini bisa dibuat? 

Mungkin saja. Karena saat kami mem-push para brider untuk melakukan eksplorasi keberbagai tempat, kami meminta mereka untuk mencari pohon sawit yang aneh dan unik, yang tidak terdapat di di tempat lain atau di Indonesia. 

Kebetulan pada tahun 2010 lalu Pak Reza (Reza Tirtawinata, Direktur PT Sasaran Ehsan Mekarsari,red) saat berangkat ke Anggola bersama Konsorsium Sawit Indonesia untuk mencari pohon sawit yang aneh dan unik tersebut. Kebetulan saat itu, dari benerapa pohon sawit unik yang ditemukan juga ada yang tumbuh di ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut, dan bisa berbuah dengan baik. Pohon sawit tersebut kemudian diambil bijinya dan dibawa ke Mekarsari, untuk dibudidayakan yang selanjutnya akan dijadikan sebagai pohon indukan. 

Tapi untuk menghasilkan benih sawit yang unggul, tentu masih harus melalui proses persilangan dengan klon lain. Dan ini tentunya tidak bisa terjadi dalam waktu singkat, tapi butuh waktu dan pengujian yang panjang. Tidak bisa seperti main sulap, langsung jadi.

Karena tentu untuk menghasilkan benih yang bisa tahan dan berproduksi dengan baik di atas ketinggian itu, kita harus menciptakan benih sawit yang dapat tumbuh pada suhu rendah, misalnya di bawah 17 derajat. 

Apakah nantinya induk ini akan kita kawinkan dengan benih unggul Supreme atau yang lainnya, kami juga belum tahu. Kalau benih ini nantinya merupakan hasil persilangan dengan Supreme, tentu namanya bisa kita sebut Supreme Plus atau yang lainya. Tapi kalau berhasil, rencananya kami akan memberi nama benih unggul ini HMS, yang merupakan inisial nama mantan Presiden Soeharto (Haji Muhammad Soeharto).

Kami saat ini juga tengah melakukan kajian nuntuk menciptakan benih kelapa sawit yang saat tumbuh, riap pelepahnya lebih kecil. Karena dengan demikian, jumlah pohon yang ditanam dalam satu hektar bisa lebih banyak. Kalau selama ini rata-rata per hektar lahan hanya dapat ditanam sebanyak antara 136 sampai 146 batang pohon, tapi kami mencoba untuk menghasilkan benih yang dapat ditanam sebanyak 300 pohon dalam satu hektar.

Ini memang masih dalam kajian oleh tim ahli kami. Bagaimana agar bisa menghasilkan benih seperti itu. Ini tentu bukan pekerjaan ringan. Tapi kalau ini bisa berhasil, tentu kita tidak perlu ekspansi besar-besaran untuk menanam sawit. Dan ini juga akan menjadi solusi atas persoalan keterbatasan lahan yang saat ini kita hadapi.

Untuk harganya bagimana. Berapa harga yang ditetapkan SEM untuk benih SUE Supreme ini?

Kalau bicara harga, kita jual cukup mahal. Yaitu mencapai Rp10 ribu per biji. Tapi dengan cacatan, benih-benih tersebut akan kita antar langsung ke konsumen, sampai ke tingkat Kabupaten/Kota atau lokasi terdekat. 

Harga benih kita ini ada di tengah-tengah, yaitu di atas harga benih PPKS Medan dan di bawah harga benih Lonsum. Untuk saat ini, harga benih sawit Lonsum sekitar US$ 1,5 per biji, sementara harga benih PPKS Medan sekitar Rp 9.000 per biji.

Sejauh ini perusahaan apa saja yang telah membeli atau memasan benih SEU Supreme?

Untuk pembelian secara langsung sih belum ada. Karena resminya kan kami baru mulai jualan, sekitar bulan Desember 2012 lalu. Tapi kalau order pemesanan sudah ada beberapa, seperti perusahaan dari Kuwait untuk membangun perkebunan di Papua yang memesan 5 juta benih. Kemudian ada juga perusahaan dari Thailand sebanyak 800 ribu benih.

Selain itu juga ada kontrak pemesan lama yang belum kami tindaklanjuti, yaitu perusahaan dari Vietnam yang jumlahnya mencapai lima juta butir benih per tahun.
Kalau bisa dibilang, kebetulan yang sudah menyatakan tertarik untuk membeli benih kami ini kebanyakan perusahaan-perusahaan asing. Dan kebetulan pula, mereka unmumnya akan mengembangkan perkebunan kelapa sawit di kawasan Indonesia bagian timur.

Kalau kita bicara bisnis, menurut Anda bagaimana prospek bisnis pembenihan kelapa sawit ini?

Saya rasa peluangnya sangat terbuka. Karena berdasarkan laporan Kementerian Pertanian 
(Kementan), total benih yang diproduksi oleh seluruh produsen benih nasional sebanyak 70 juta butir. Walaupun sebenarnya, kapasitas produksi benih nasional dari seluruh produsen benih kita bisa mencapai 220 juta. Dari rencana total produksi tersebut, sudah hampir 30%-nya terserap oleh pasar. 

Jadi kalau kita lihat angka itu, kemungkinan jumlah kebutuhan benih nasional lebih besar lagi.
Selain pasar dalam negeri, prospek juga terbuka untuk pasar ekspor. Karena setiap tahun diberikan kuota ekspor benih sawit nasional yang jumlahnya mencapai 20% dari total produksi. Jadi peluangnya memang sangat bagus.

Apalagi di industri pembenihan ini juga kan tidak banyak pemainnya. Karena memang tidak banyak investor yang tertarik masuk ke bisnis pembenihan. Selain investasinya besar, juga membutuhkan waktu yang panjang untuk bisa menghasilkan satu varietas benih unggul.

Jadi jangankan bicara breack event point (BEP) atau balik modal, untuk menghasilkan satu benih unggul saja butuh waktu yang sangat panjang. Sangat berbeda dengan industri perkebunannya sendiri, yang mungkin saja dalam waktu delapan hingga 11 tahun sudah bisa untung. 

Tapi kalau dipembenihan, untuk bisa menghasilkan dan jualan satu varietas benih unggul saja setidaknya butuh waktu sekitar 17 tahun. Karena waktunya lebih banyak dihabiskan untuk riset dan pengembangan.***