Mengintegrasikan Kebun Sawit
dan Peternakan Sapi
HAMPARAN perkebunan kelapa sawit nan luas, sejatinya sangat
potensial untuk disinergikan dengan usaha atau bisnis lain. Mulai dari wisata
agro, wisata berburu hingga wisata pendidikan. Bahkan, areal perkebunan sawit
juga sangat potensial jika diintegrasikan dengan peternakan sapi. Limbah sawit,
seperti solid, pelepah dan bungkilnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi,
dan sebaliknya kotoran sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk pohon kelapa
sawit.
Adalah PT Citra Borneo Indah
(CBI) Grup, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah secara serius mengembangkan
bisnis peternakan dan pembiakan sapi atau breending
di tengah perkebunan kelapa sawitnya.
Sapi yang dilepasliarkan di areal kebun sawit |
Melalui
anak usahanya, yaitu PT Sulung Ranch, CBI secara khusus mengelola bisnis
peternakan sapi di kebun sawitnya di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah
(Kalteng). Dari 90.094 hektar areal perkebunan kelapa sawit yang dimikiki CBI di
wilayah itu, 30 hektar dikhususkan untuk pembangunan peternakan sapi, yang
disebut dengan istilah Siska atau Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit.
Pada tahap awal, total sapi yang dipelihara di peternakan ini mencapai sekitar 600 ekor. Tapi dalam 5 tahun ke depan, Sulung Ranch menargetkan bisa memiliki sapi dalam jumlah ribuan ekor.
Berguru ke Australia
Sebagai pengusaha perkebunan kelapa sawit yang asli putra daerah, Abdul Rasyid memang sangat serius dalam mengembangkan peternakan sapi di areal perkebunan sawit. Ini menurutnya, didorong keinginan untuk membantu mengurangi ketergantungan terhadap daging-daging sapi impor.
Seorang pekerja tengah memberi makan sapi di kebun |
“Kami mengambil sapi hamil dari Australia, sehingga membeli satu ekor maka bisa mendapatkan 3 ekor atau istilahnya buy one get three”, terang Rasyid. Selanjutnya, sapi-sapi asal Australia itu dikawinkan dengan sapi pejantan dari Bali, sehingga menghasilkan produk campuran.
“Ke depan kami menargetkan dapat meningkatkan jumlah sapi hingga 1.200 ekor. Tapi juga tidak tertutup kemungkinan untuk terus berkembang ke angka yang lebih besar,” tambah Rasyid.
Kurang Diminati Investor
Dari kajian yang dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah sebagiamanperti ditulis oleh Bambang Ngaji Utomo dan Ermin Widjaja menyebutkan, kegiatan pembibitan sapi potong nampaknya memang kurang diminati oleh para investor.
Hal ini disebabkan, peternakan sapi m dierupakan salah satu bisnis yang padat modal. Sebab pada umumnya, usaha peternakan sapi bersifat pembiakan untuk menghasilkan anak sapi (pedet), yang biaya untuk pakannya sendiri bisa jauh lebih mahal dari harga pedet itu sendiri.
Sapi-sapi tengah istirahat usai mencari makan |
Dengan biaya pakan
mencapai Rp. 4000/hari/ekor dan rata-rata jarak beranak sekitar 600 hari, maka
untuk menghasilkan 1 ekor pedet dibutuhkan biaya pakan sebesar Rp2.400.000. Sementara
harga pedet per ekor hanya sekitar Rp1.500.000. Dengan demikian biaya pakan
untuk menghasilkan 1 ekor pedet lebih mahal daripada harga pedet itu sendiri.
Oleh karena itu, agar
usaha pembibitan sapi potong tersebut memberikan keuntungan, maka harus
dilakukan melalui pendekatan secara terintegrasi. Sebab, hal ini berkaitan dengan
upaya menekan biaya pakan yang mencapai 60 hingga 70% dari total biaya produksi.
Yaitu melalui pemanfaatan secara optimal sumberdaya lokal berupa vegetasi atau
limbah pertanian sebagai sumber pakan.
Dan ini telah dibuktikan
di peternakan Sulung Ranch, yaitu dengan pendekatan secara terintegrasi sehingga
biaya pakan bisa ditekan hingga 54,36%. Karena pakan selain berasal dari rumput,
yang dikembangkan dengan pola gembala (grazing), juga berasal dari
hijauan makanan ternak yang ada diantara tanaman kelapa sawit. Sedangkan sebagai
pakan tambahan (konsentrat), dapat diperolah dari solid sawit limbah PKS
yang lokasinya tidak begitu jauh dari peternakan, yaitu sekitar 3 km.
Keuntungan lebih bisa
ditingkatkan lagi manakala jarak beranak, sebagaimana yang dikerjakan di Sulung
Ranch lebih pendek lagi, yaitu hanya 13 bulan (395 hari). Karena
untuk mendapatkan 1 ekor
pedet, hanya dibutuhkan biaya Rp452.275.
Dalam kesimpulannya,
Bambang dan Ermin menyebutkan, kunci keberhasilan pembibitan sapi potong yang
dilakukan Sulung Ranch, adalah ketersediaan sumber pakan ternak yang berupa hijauan
makanan ternak (HMT). Baik yang dibudidayakan, maupun yang diperoleh dari
area kebun kelapa sawit, dan pakan tambahan dari limbah pabrik kelapa sawit,
sangat mencukupi.
Selain itu, pembibitan
sapi yang dipadukan dengan perkebunan kelapa sawit juga mampu mengurangi biaya
pakan hingga hanya menjadi Rp1.145/ekor/hari, dan terjadi efisiensi harga
rumput sebesar 54,4%, dengan efisiensi total biaya pakan yang dikeluarkan
adalah 54,36%. Dengan demikian, pembibitan sapi potong yang dilakukan secara
terintegrasi dengan kelapa sawit sangat menguntungkan, jika dilihat dari biaya
pakan dan harga pedet.
Kondisi sapi yang gemuk karena cukup makanan |
Karenanya, Bambang dan
Ermin berpendapat, pola pembangunan peternakan yang dilakukan oleh CBI ini perlu
ditiru oleh perusahaan swasta lainnya. Karena, selain menguntungkan, pola ini
juga dapat menjadi contoh pelestarian plasma nutfah sapi Bali, dan sekaligus sebagai salah satu sumber penghasil daging sapi.
Dan yang juga menjadi
pertimbangan penting, pengembangan peternakan sapi di dalam areal perkebunan
kelapa sawit dapat mengurangi potensi konflik horizontal, antara pihak
perusahaan dengan masyarakat di sekitarnya. Karena masyarakat ikut diberdayakan
melalui usaha pemeliharaan sapi-sapi tersebut. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar