Kebijakan pemanfaatan minyak sawit
sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak solar, mungkin bisa dibilang
sebagai kebijakan yang hanya ‘setengah hati’. Karena faktanya, walaupun telah
memiliki payung hukum yang diterbutkan sejak tahun 2006 lalu, nyatanya hingga
kini belum juga berjalan seperti yang diharapkan.
Sebagaimana diketahui, kebijakan
mengenai pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar alternative pengganti minyak
solar telah dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006
tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun
2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) atau biofuel.
Inpres Nomor 1/2006 pada dasarnya
merupakan instruksi internal yang diarahkan pada 15 pejabat negara, yang
merupakan keharusan untuk mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan
percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuels) sebagai
bahan bakar lain.
Instruksi tersebut ditujukan untuk lain
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian), Menteri ESDM,
Mentan, Menteri Kehutanan (Menhut), dan Menteri Perindustrian (Menperin).
Kemudian, Menteri Perdagangan (Mendag), Menteri Negara Riset dan Teknologi
(Ristek), Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Meneg
Koperasi dan UKM), Menteri Negara BUMN, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan,
Menteri Negara Lingkungan Hidup, Gubernur, dan Bupati/Walikota.
Instruksi
tersebut selanjutnya dipertegas melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 32/2008 tentang Penyediaan,
Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar
Lain, kewajiban melakukan pencampuran BBN ke dalam BBM berkisar 1%-5%. Dalam
aturan tersebut juga disebutkan kadar campuran biofuel dalam BBM tersebut akan
ditingkatkan menjadi 5%-10% mulai Januari 2015.
Bahan Baku Bahan Bakar Nabati |
Tapi walau demikian, pengembangan
bahan bakar alternatif berbasis minyak sawit ini, tidaklah semudah yang
dibayangkan. Karena menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung
(Unila) Bustanul Arifin, minyak sawit ini juga merupakan kebutuhan yang cukup
diperlukan oleh manusia, khususnya untuk pangan. Sehingga secara tidak langsung
terjadi persaingan, antara kebutuhan minyak sawit untuk manusia dan untuk mesin.
Selain itu, berdasarkan pengalaman,
akibat meningkatnya penggunaan CPO untuk biofuel, telah membuat harga CPO
melambung tinggi, seperti yang terjadi pada tahun 2007 dimana hanrganya hingga
melampaui US$ 772 per ton. Itu merupakan rekor tertinggi CPO dalam 23 tahun
terakhir. Bahkan dibandingkan tahun 2006, kenaikan harganya hingga mencapai
60%. Karena tahun itu harga komiditas ini rata-rata hanya US$ 478 per ton.
Akibatnya,banyak industri pengolahan
biofuel yang mengurangi produksinya. Padahal berdasarkan “Blueprint Energi Nasional”
pada tahun 2007 itu ditargetkan produksi biodiesel sebanyak 100 ribu kiloliter
(KL). Sementara kebutuhan minyak solar dalam negeri diperkirakan mencapai 13,2
juta KL. Dimana dari produksi biodiesel tersebut, minyak sawit diharapkan dapat
menyumbang sebanyak 125 ribu KL.
Derom Bangun |
Hal ini pun diamini oleh Derom
Bangun. Menurut dia, sejak diterbitkannya Perpres dan Inpres mengenai minyak
nabati tersebut, beberapa investor mulai membangun pabrik
biodiesel di Indonesia dengan menggunakan bahan baku minyak sawit mentah.
Dimana hasil produksinya, selain dijual di dalam negeri juga diekspor ke Uni Eropa
dan AS.
Akibatnya, pabrik biodiesel yang dibangun investor di dalam negeri tidak berjalan optimal. Begitupun dengan kondisi saat ini. Walaupun harga CPO sangat rendah, tapi industri biodiesel tak juga bisa diharapkan. Apalagi penyerapan di dalam negeri juga masih sangat terbatas.
Sementara Sekretaris
jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan
berpendapat, masalah peningkatan penggunaan biofuel sebagai campuran BBM,
sangat tergantung pada keseriusan dan konsistensi pemerintah atas kebijakan
ini.
Menurut Paulus, dalam pemanfataan biofuel ini pada dasarnya tidak ada beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah, seperti yang selama ini terjadi pada BBM. Karena dengan harga jual yang mencapai Rp 8.300 per liter, seperti saat ini, biofuel sudah cukup kompetitif dari harga solar industri. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar