Melalui Gerakan Nasional Fermentasi
Upaya
penyediaan bahan baku kakao untuk industri dalam negeri, melalui Gerakan
Nasional (Gernas) Kakao, mestinya juga diikuti dengan gerakan yang mewajibkan
para petani kakao nasional untuk melakukan fermentasi atas produksi biji
kakaonya.
Sebab,
walaupun produksi biji kakao para petani meningkat, jika kualitasnya rendah
maka tetap tidak memberikan nilai tambah yang lebih baik bagi mereka. Tentu
berbeda jika biji kakao yang mereka hasil telah melalui proses fermentasi. Pendapatan
yang diperoleh oleh para petani tentu akan jauh lebih besar lagi.
Piter Jasman |
Ini karena
selisih harga biji kakao hasil fermentasi jauh lebih tinggi, dibandingkan
dengan harga biji kakao nonfermentasi. Jika rata-rata harga biji kakao
nonfermentasi hanya sekitar Rp 17.000 per kilogram, tapi harga biji kakao hasil
fermentasi bisa mencapai sekitar Rp 22.000 per kilogram.
Keharusan
melaksanakan fermentasi terhadap biji coklat hasil produksi petani tersebut pun
diamini oleh Piter Jasman. Sebagai Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao
Indonesisa (AIKI) dan Komisaris Utama PT Bumitangerang Mesindotama atau BT
Cocoa, dirinya tentu sangat berharap kualitas biji kakao nasional sesuai dengan
yang diharapkan oleh kalangan industri. Yaitu biji kakao yang telah melalui
proses fermentasi, dengan aroma yang kuat.
Sebab,
selain dapat memberikan nilai tambah bagi para petani, ketersedian biji kakao
hasil fermentasi di dalam negeri, juga akan mengurangi ketergantungan industri
pengolahan biji kakao dari produk impor, seperti yang selama ini terjadi.
Dimana untuk
menghasilkan produk olehan yang baik, selain membeli biji kakao dari dalam
negeri, kalangan industri pengolahan juga masih harus mengimpor biji kakao dari
negara lain. Agar produk olahan biji kakao yang dihasilkan bisa sesuai dengan
standar yang diinginkan oleh kalangan industri makanan, khususnya cokelat.
Seperti yang
dilakukan oleh BT Cocoa sendiri. Menurut Piter, untuk menghasilkan produk olahan
yang sesuai standar pembeli, pihaknya harus mengimpor sekitar 10% bahan baku
biji kakao hasil fermentasi dari Pantai Gading. Biji kakao impor tersebut
selanjutnya dicampur dan diolah bersama-sama dengan biji kakao produksi petani
dalam negeri.
“Tapi saya
yakin, kalau di dalam negeri tersedia biji kakao yang telah melalui proses
fermentasi, maka industri tidak perlu repot-repot impor,” ucap Piter saat
bincang-bincang dengan HORTUS Archipelago, usai peresmian kantor Forum
Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) di Jakarta, belum lama
ini.
Dengan
pertimbangan itu, menurut dia, rasanya akan lebih efektif jika Gernas Kakao
yang dijalankan oleh pemerintah cq Kementerian Pertanian (Kementan) juga
dibarengi dengan keharusan bagi para petani kakao untuk melakukan fermentasi
terhadap produk biji kakao yang dihasilkannya.
Fasilitasi Pendanaan Awal
Namun Piter
pun mengakui, untuk melaksanakan proses fermentasi ini para petani harus
mengeluarkan dana lagi. Karena mereka harus menyediakan tempat dan membangun
fasilitas fermentasi tersebut. Tapi semestinya, hal itu tidak menjadi masalah
jika pemerintah bersedia memberikan bantuan pendanaan awal, baik berupa subsidi
ataupun pinjaman lunak kepada para petani.
Proses Fermentasi Secara Sederhana (ist) |
Namun
demikian, agar program tersebut lebih efektif, bantuan pendanaan tersebut harus
diberikan kepada koperasi-koperasi petani kakao, yang dibentuk langsung oleh
pemerintah, melaui pemerintah daerah dan dinas pertanian. Dengan demikian,
koperasi-koperasi itulah yang menampung biji kakao para petani, untuk
selanjutnya melakukan proses fermentasi.
Koperasi-koperasi
inilah yang selanjutnya menjual biji kakao hasil fermentasi itu kepada industri.
Tapi koperasi juga hasur membagi secara adil margin yang diperoleh dari hasil
penjualan tersebut kepada para petani yang menjadi anggotanya.
“Pola
seperti ini, sebenarnya sudah kami terapkan kepada petani kakao yang menjadi
binaan BT Cocoa di Bali. Dimana kami membentuk beberapa koperasi, yang di Bali
dikenal sebagai Subak untuk menampung biji kakao produksi petani untuk
selanjutnya difermentasi. Sehingga saat ini, biji kakao yang dihasilkan telah
memiliki cita rasa sendiri, yang khas dari Bali dan harga jualnya juga tinggi,”
urai Piter.
Pola
peningkatan kualitas dan mutu biji kakao melalui fermentasi ini, pun tengah
dilakukan oleh para petani kakao di Provinsi Lampung. Salah satu kelompok petani
kakao yang sudah melakukan pengolahan sistem fermentasi biji kakao, adalah Kelompok
Tani Asli Makmur I di Desa Pakuonaji, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung
Timur.
Di sini, koperasi membeli bahan baku biji kakao dari para petani yang menjadi anggotanya dengan harga Rp 6.000 per kilogram, dalam kondisi buah yang sudah matang.
Di sini, koperasi membeli bahan baku biji kakao dari para petani yang menjadi anggotanya dengan harga Rp 6.000 per kilogram, dalam kondisi buah yang sudah matang.
Prose
fermentasi yang dilakukan pun relatif sederhana, yaitu biji kakao dikeluarkan
dan dimasukan dalam kotak kayu berkapasitas 7 kwintal dan ditutup dengan karung
selama tiga hari. Selama proses fermentasi itu, biji kakao tersebut dibolak-balik.
Kemudian dipindahkan ke kotak lainnya, dan dibiarkan selama tiga hari lagi.
Proses Pengeringan Setelah Difermentasi |
Selanjutnya,
pada hari ketujuh, biji-biji kakao tersebut diangkat dan dikeringkan di lantai
jemur atau tikar plastik hingga kadar airnya hanya tersisa sekitar 13%.
Kemudian, biji kakao hasil fermentasi tersebut dijual kepada perusahaan, yang memang sudah bermitra dengan kelompok, yakni PT Mutiara Prima yang merupakan pemasok biji kakao untuk pabrik cokelat Delfi di Bandung.
Biji kakau hasil permentasi tersebut dijual dengan harga sekitar Rp 22 ribu per kilogram. Tau lebih mahal Rp 5.000 per kilogram dari biji kakao nonfermentasi yang hanya dibeli dengan harga Rp 17.000 per kilogram.
Kemudian, biji kakao hasil fermentasi tersebut dijual kepada perusahaan, yang memang sudah bermitra dengan kelompok, yakni PT Mutiara Prima yang merupakan pemasok biji kakao untuk pabrik cokelat Delfi di Bandung.
Biji kakau hasil permentasi tersebut dijual dengan harga sekitar Rp 22 ribu per kilogram. Tau lebih mahal Rp 5.000 per kilogram dari biji kakao nonfermentasi yang hanya dibeli dengan harga Rp 17.000 per kilogram.
Menurut
Piter Jasman, memang akan lebih baik jika keharusan bagi para petani untuk
melakukan fermentasi terhadap produksi biji kakaonya tersebut dilakukan per
daerah, tidak serentak secara nasional. Program pertama bisa dilaksanakan di
daerah-daerah yang menjadi sentra-sentra tanaman kakao, seperti Sulawesi,
Sumetera dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar