Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit |
Menggantungkan operasional dengan sumber bahan baku
kelapa sawit sepenuhnya dari kebun petani plasma dan petani swadaya, tentu
bukan perkara mudah bagi Pabrik Sei Bahar (PSB) Unit I. Manajemen pun harus ‘putar
otak’, agar petani tetap menjual dan memasok kelapa sawitnya ke pabrik ini.
Mulai dari tawaran harga yang relatif lebih tinggi, hingga memberikan pelayanan
ekstra secara langsung kepada petani pun mereka dilakukan.
Waktu sudah hampir pukul 12.00 WIB, saat
HORTUS Archipelago memasuki pelataran tempat pengolahan kelapa sawit di
Kecamatan Sei Bahar, Muaro Jambi, Jambi. Puluhan truk dengan muatan tandan buah
segar (TBS) kelapa sawit, tampak antri berjajar di sepanjang jalan masuk ke
pabrik kelapa sawit (PKS) milik PTPN VI ini.
Antrian Truk Pengangkut TBS |
“Mereka adalah truk pengangkut TBS petani.
Mereka tengah antre untuk menurunkan muatannya masing-masing di sini,” ujar
Arief Kurniawan, staf Humas PTPN VI yang mendampingi kami saat kunjungan ke PKS
PSB I ini.
Memasuki kantor manajemen PKS PSB I, kami
pun langsung disambut oleh Rustam Endy, sang Manejer pabrik dan dipersilahkan
duduk ‘lesehan’ di sudut ruangan yang nampaknya memang diasiapkan untuk
menerima tamu yang berkunjung ke tempat itu.
Rustam pun lantas menceritakan mengenai
lika-liku perjalanan PSB I. Pabrik pengolahan kelapa sawit yang resmi beroprasi
sekitar tahun 1991 dan merupakan salah satu PKS pertama yang ada di
Jambi. Kapasitas produksi pabrik ini sebesar 60 ton per jam, dengan hasil
minyak sawit mentah (CPO) sekitar 19% dan kernel sekitar 5%. PSI I merupakan
pabrik pengolahan kelapa sawit yang 100% bahan baku kelapa sawitnya berasal
dari kebun petani plasma binaan PTPN VI dan petani-petani kelapa sawit swadaya
di wilayah Sei Bahar ini.
Menurut dia, dari segi ketersedian bahan
baku kelapa sawit, hasil dari kebun petani di wilayah Sei Bahar, sebanarnya
sangat berlimpah. Karena perkebunan petani binaan PTPN VI saja, luasnya
mencapai 22 ribu hektar yang dikelola olah 11 ribu kepala keluarga (KK) dengan
produksi 2 - 3 ton TBS per bulan per kapling. Belum lagi petani swadaya, yang
diperkirakan luas perkebunannya bisa mencapai dua kali lipat.
Yang menjadi permasalahan, lanjutnya, justru
PSB I harus berhadapan dan bersaing dengan pabrik-pabrik pengolahan kelapa
sawit swasta yang banyak berdiri di wilayah ini. Karenanya, agar pasokan bahan
baku tetap tersedia, manajemen pun harus melakukan pembinaan dan pelayanan
secara langsung kepada para petani, agar mereka tetap bersedia membawa kelapa
sawitnya ke pabrik ini. Termasuk juga menawarkan harga pembelian yang lebih
menarik bagi mereka. Karena bukan tidak mungkin, para petani tersebut menjual
kelapa sawitnya ke pabrik pengolahan milik swasta.
“Ini yang banyak terjadi di sini. Bukan
hanya petani swadaya, bahkan petani plasma yang menjadi binaan PTPN VI pun
banyak pula yang menjual kelapa sawitnya ke pihak lain,” jelas Rustam, yang
baru sekitar satu bulan ini menempati posisinya sebagai Manejer PSB I.
Para Pekerja Tengah Menurunkan TBS dari Truk |
Selama ini, produksi kelapa sawit dari
kebun petani plasma binaan PTPN VI, ditampung oleh 22 Koperasi Unit Desa (KUD).
Tapi ironisnya, dari 22 KUD tersebut, hanya 5 KUD saja yang masih
berkomitmen menjual kelapa sawitnya kepada PSB I. Sementara sisanya, lebih
senang menjual kelapa sawit mereka ke pabrik-pabrik lain.
Meski demikian, pasokan kelapa sawit dari
5 KUD tersebut, masih sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional pabrik.
Karena total pasokan kelapa sawit dari ke-5 KUD tersebut mencapai 850 ton per
hari. “Belum lagi ditambah pasokan dari petani swadaya ataupun petani plasma
yang tidak melalui KUD, jumlahnya sangat cukup. Bahkan terkadang
berlimpah,” tambah Nababan, petugas pembelian TBS petani yang ditugaskan
oleh PTPN VI di PSB I yang juga hadir menemani kami.
Masih adanya KUD dan petani yang tetap
berkomitmen untuk menjual kelapa sawitnya kepada PSB I, menurut Rustam dan
Nababan, tak lepas dari pelayanan dan penawaran harga yang diberikan oleh
manajemen. Untuk harga TBS misalnya, pihak manajemen bahkan berani membeli
dengan harga rugi atau harga yang lebih tinggi dari harga pasaran. “Kalau
memang terpaksa, harga rugi pun kami beli, demi jaminan pasokan,” tandas
Nababan.
Sementara untuk pelayanan, pihak manajemen
bahkan telah membeli mesin gredel, yaitu alat untuk membuat dan meratakan
jalan. Bukan cuma alatnya yang disedikan, petugas dari PSB I juga akan turun
langsung ke lapangan jika ada petani yang mengaku kesulitan mengangkut kelapa
sawitnya karena kondisi jalan di sekitar kebun yang rusak.
“Kami akan langsung kirimkan orang untuk
bekerja memperbaiki jalan-jalan nyang rusak tersebut. Termasuk juga memperbaiki
jembatan, jika ada yang rusak,” ucap Rustam. Ini, menurutnya, dilakukan semata
untuk membangun hubungan yang baik dengan para petani, sehingga ada rasa
keterikatan antara petani dan PSB I.
Sertifikat Biru
Sebagai pabrik pengolahan kelapa sawit,
PSB I tentu juga tak lepas dari persoalan limbah. Baik limbah cair, maupun
limbah padat, berupa tandan kosong (Tangkos) ataupun bungkil, batok dan serabut
(fiber) kelapa sawit yang dihasilkan dari proses pengolahan kelapa sawit.
Namun, ini sepertinya juga bukan merupakan persoalan serius bagi PSB I.
Pengolahan Limbah Cair |
Bahkan untuk pengelolaan limbah cair, PSB
I telah mendapatkan Sertifikat Biru dari Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Proper) dari Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) untuk periode 2010 – 2011. Karena pengelolaan limbah
cair yang dilaksanakan oleh PSB I melalui Instalasi Pengelolaan Air Limbah
(IPAL), telah mencapai tingkat baku mutu KLH 100%.
Selain dilakukan pemurnian melalui IPAL,
limbah cair yang dihasilkan dari proses pengolahan kelapa sawit di PSB I,
sebanyak 35%-nya digunakan untuk proses composting dari Tangkos, yang
selanjutnya akan digunakan sebagai pupuk alami di kebun sawit inti.
“Jadi bisa dibilang, pengelolaan limbah di
sini sangat ramah lingkungan. Karena mulai dari limbah cair, Tangkos, dan
serabut kelapa sawit, kami oleh kembali untuk dijadikan sebagai pupuk alamai
yang akan digunakan untuk pemupukan di kebun kelapa sawit kami,” ujar Rustam
menutup penjelasannya.
Memang, tangkos-tangkos hasil proses
pengolahan di pabrik, tampak ditempatkan secara khusus di sebuah areal yang di
tengah-tengahnya terdapat parit-parit berisi air. Di tempat ini, tangkos-tangkos
tersebut akan diproses menjadi kompos dengan dibiarkan selama 65 hari dan
secara kontinyu disiram dengan air (limbah cair) yang ada di parit, sehingga
membusuk dan menjadi pupuk alami. Sementara bungkil serabut kelapa sawit,
diangkut ke lokasi Integrasi Sawit Sapi (ISS) milik PTPN VI.
Tandan Kosong Sisa Pengolahan Siap Dibuat Kompos |
Bungkil akan diolah dan dicampur dengan
bahan-bahan lain untuk dijadikan pakan sapi. Sementara serabut kelapa sawit,
akan ditempatkan di lantai kandang sapi, yang selanjutnya akan dibiarkan selama
tiga bulan, sehingga secara alami bercampur dengan kotoran dan air seni sapi.
Campuran serabut kelapa sawit, kotoran dan air seni sapi ini ternyata
menghasilkan pupuk alami yang sangat bagus untuk pohon kelapa sawit.
Saking asyiknya mendengar keterangan
sambil melihat-lihat sekitar lokasi pabrik, tanpa sadar ternyata hari sudah
menjelang sore. Padahal pesawat yang akan terbang membawa kami ke Jakarta, take
off pada pukul 18.10 WIB. Maka kami pun mengakhiri kunjungan ke pabrik
pengolahan kelapa sawit itu.
Setelah berpamitan, maka dengan masih
ditemani oleh staf humas PTPN VI, kami pun bergegas menuju Kota Jambi untuk
selanjutnya ke Bandara Sultan Tahha untuk terbang kembali ke Jakarta. Sungguh
pengalaman dan kenangan tak terlupakan yang kami dapatkan hari itu. ***