Selasa, 01 Mei 2012

Kardaya Warnika, Dirjen EBTKE


Negosiasi Harga Jual Beli Listrik PLTP Ditiadakan

Pemerintah akan memberlakukan skema harga feed in tariff  untuk  harga jual beli listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Dengan ketentuan baru ini tidak ada lagi negosiasi harga  jual beli listrik  antara pengembang dan PT PLN,  yang selama ini berlarut-larut serta menyita banyak waktu.  

Pemerintah Indonesia sepertinya mulai serius mengembangkan energi panas bumi atau geothermal untuk pembangkitan listrik. Setelah proses pengembangannya dipermudah dan dipercepat, lewat nota kesepahaman (MoU) antara Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pemerintah juga akan memberlakukan skema harga jual listrik yang lebih menarik bagi pengembang energi terbarukan ini.
Nantinya  harga jual listrik dari pembangkit di suatu pulau, akan ditetapkan berdasarkan seberapa mendesaknya kebutuhan atas energi panas bumi untuk menggantikan sumber energi lain, seperti bahan bakar minyak (BBM) ataupun batubara. Semakin tinggi tingkat kebutuhannya, maka harga jual listriknya yang harus dibeli oleh PLN menjadi semakin mahal. Sebaliknya, semakin kecil tingkat kebutuhannya, maka semakin rendah pula harga listrik yang harus dibeli PLN dari pembangkit itu.
Bukan hanya mempermudah proses perizinan dan menetapkan skema harga yang lebih menarik untuk pengembang, dalam rangka mempercepat pengembangan sumber energi panas bumi, Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) juga telah menyiapkan sejumlah ‘perangsang’ lainnya. Antara lain mengubah proses pelelangan, memberikan insentif untuk investor, dan memberikan dukungan yang lebih nyata.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai upaya-upaya yang dilakukan Kementerian ESDM untuk mempercepat pengembangan sumber energi panas bumi, khususnya pasca ditandatanganinya MoU bersama Kementerian Kehutanan itu, wartawan TROPIS Eman Sanusi berkesempatan mewawancarai Dirjen EBTKE Kardaya Warnika, di ruang kerjanya belum lama ini. Berikut nukilannya: 

Akhir tahun 2011 lalu Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan telah menandatangani MoU untuk Percepatan Perizinan Pengusahaan Panas Bumi. Sejauh ini bagaimana perkembangannya?
Setelah adanya MoU tersebut, selanjutnya kedua institusi itu mulai bekerja sesuai ketentuan dalam kesepakatan itu. Dimana tujuan dari Mou itu sendiri adalah untuk mempercepat proses, melakukan koordinasi dan untuk melihat serta menyelesaikan hambatan-hambatan dalam pengembangan geothermal ini.
Sebagaimana diketahui, dalam hal ini yang membutuhkan izin adalah para pelaku usaha. Dengan demikian, kita juga meminta pelaku usaha untuk menyiapkan apa-apa yang diperlukan dalam kaitan dengan perizinan itu. Karena kalau mereka tidak menyiapkan segala yang diperlukan dalam proses perizinan itu, kita juga tidak mungkin memprosesnya.Dan Alhamdulillah, saat ini sudah berjalan.

Selain persoalan tumpang- tindih lahan dengan kawasan hutan lindung, sebenarnya apa saja yang menjadi penghambat pengembangan panas bumi di Indonesia?
Sebenarnya yang menjadi penghambat pengembangan energi panas bumi, bukan hanya dari sektor kehutanan, khususnya terkait tumpang-tindih lahan dengan hutan lindung dan hutan konservasi. Tapi juga ada beberapa persoalan lain, seperti  penjaminan dari pemerintah dan persoalan lainnya.
Dan yang juga harus diketahui, karakteristik persoalan yang menjadi penghambat dari tiap-tiap perusahaan atau pengembang itu berbeda. Karena itu, kita selesaikan sesuai dengan apa yang dihadapi oleh masing-masing pelaku usaha.

Persisnya apa saja persoalan yang mengganjal pengembangan panas bumi?
Kita memang telah mengidentifikasi, ada beberapa persoalan yang menjadi faktor penghambatnya. Pertama, yang terkait dengan masalah harga jual listriknya kepada PLN. Persoalan di sini, adalah proses negosiasi harga yang terlalu lama, walaupun sudah dipatok ada harga maksimum sebesar 9,7 sen dolar AS per kWh. Tapi tetap saja proses negosiasinya masih lama.
Karena itu, ke depan kita ingin menghindari proses negosiasi yang lama ini dengan menetapkan feed in tariff. Artinya, harga jual listrik yang harus dibeli oleh PLN itu sesuai dengan yang ditentukan oleh pemerintah. Jadi tidak ada lagi negosiasi antara PLN dengan pihak pengembang.

Lebih konkretnya?
Saat ini kami sedang melakukan kajian, untuk menetapkan harga yang layak dan sesuai untuk ditetapkan di suatu wilayah. Saat ini sudah dalam proses akhir. Nantinya,  harga jual listrik dari PLTP kepada PLN tersebut ditetapkan per pulau. Misalnya, untuk Pulau Jawa berapa? Sumatera berapa? Dan di NTT berapa?
Kenapa? Karena kepentingan geothermal bagi negara, dari satu pulau dengan pulau lainnya berbeda. Misalnya di Sumatera, kalau tidak ada geothermal, masih bisa pakai gas atau batubara dan lainnya. Sehingga harganya mungkin bisa lebih murah dari di Jawa. Karena di Jawa, kalau tidak pakai geothermal, tidak mungkin lagi menggunakan batubara atau minyak dan gas. Karena di Jawa penduduknya lebih banyak. Di samping itu juga harus dipertimbangkan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh pembangkit batubara. Jadi, harga jual listrik dari pembangkit geothermal di Jawa pasti lebih mahal dari Sumatera.
Sementara di NTT, di sana tidak ada batubara  gas juga tidak ada, tapi demand-nya kecil. Sehingga sekarang ini lebih banyak pembangkit yang menggunakan minyak solar atau Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Makanya, untuk meninjau dan menetapkan harga jual listrik dari pembangkit panas bumi di sana harus lebih tinggi dari Jawa, tapi juga harus lebih murah dari harga jual dari pembangkit diesel tersebut.

Untuk proses pelelangan, bagaimana perubahannya?
Kalau sebelumnya, setelah selesai proses lelang, kemudian harganya harus dirundingkan lagi. Tapi sekarang tidak lagi. Begitu dilelang, kemudian kita tentukan harga jual listriknya. Dan selain itu, kita juga beri batas waktu untuk dapat beroperasi dan menghasilkan energi listriknya.
Misalnya, suatu pengembang harus sudah dapat menghasilkan listrik paling lambat pada tahun 2016. Tapi kalau sampai batas waktu itu tidak bisa memproduksi listrik, ya tidak kita berikan. Karena kita tidak ingin, setelah WK-nya diberikan dan harganya telah telah ditetapkan, tapi produksinya listriknya menjadi berlarut-larut. Kita tidak mau itu terjadi, karena ini juga merupakan salah satu faktor mengapa pengembangan panas bumi ini menjadi lama. Makanya sekarang kita cut.
Selain itu, prosesnya juga kita sederhanakan. Kalau dulu prosesnya harus melalui tiga tahapannya, yaitu eksplorasi, feasibility study dan baru eksploitasi. Sekarang disederhanakan menjadi hanya dua tahap, yaitu eksplorasi dan eksploitasi.
Tapi dalam tahapan eksploitasi, pengembang harus memberikan jaminan bahwa mereka akan melaksanakannya dan dengan menunjukkan kemampuan finansialnya. Karena yang selama ini terjadi, setelah mendapatkan izin eksplorasi, justru oleh pihak pengembang dijual lagi kepada pihak lain untuk mendapatkan pendanaan. Makanya kita tentukan, selama masa ekplorasi tidak boleh dialihkan dan ada komitmen untuk melaksanakan eksploitasi, seperti yang berlaku di industri minyak dan gas bumi (Migas).


Terkait masalah insentif dan dukungan  bagi investor, apa yang akan diberikan pemerintah?
Untuk insentif, kami akan memberikan insentif, baik berupa perpajakan maupun insentif fiskal lainnya. Tapi saat ini masih dalam kajian.
Dan untuk dukungan pemerintah, kami memang telah berkomitmen untuk memberikan dukungan penuh kepada investor. Kenapa? Karena sekarang ini energi terbarukan tengah didorong untuk dikembangkan sebagai pengganti energi yang bersumber dari fosil (minyak dan batubara).
Karena kalau kita lihat potensi energi panas bumi yang sekitar 29 ribu MW, sebenarnya itu hanya yang ada di darat. Padahal sebenarnya, potensi panas bumi yang sumbernya dari gunung api juga banyak terdapat di dalam laut (off shore).
Apalagi Indonesia ini kan lebih banyak lautnya, dibandingkan daratan. Jadi kemungkinan besar potensi energi panas bumi di dalam laut juga lebih besar. Karena itu, kami juga tengah memikirkan bagaimana mengembangkan panas bumi yang ada di dalam laut ini. Karena ada beberapa keuntungan jika kita kembangkan. Pertama, dia tidak akan tumpang-tindih dengan kawasan hutan. Dan kedua, tidak akan dipersulit dengan persoalan pembebasan tanah.

Tapi di dalam laut kan juga ada taman laut, yang juga merupakan kawasan konservasi. Jika nantinya ternyata panas bumi dalam laut itu berada di kawasan konservasi, bagaimana?
Kalau pun misalnya potensi panas bumi yang ada di dalam laut itu berada di bawah taman laut, tetap bisa dieksploitasi. Karena kita bisa menggunakan teknik pengeboran dari samping atau miring.
Karena walaupun energi terbarukan ini dikenal sebagai sumber energi yang bersih dan ramah lingkungan, tapi dalam pengembangannya, kita juga tetap mempertimbangkan masalah-masalah yang terkait dengan konservasi.
Sejauh ini bagaimana kajian atas potensi panas bumi di dalam laut tersebut?
Kajiannya sendiri saat ini baru mulai dilaksanakan. Karena pengembangan potensi panas bumi di dalam laut ini, kita prioritaskan untuk dikembangkan pada tahap berikutnya. Setelah pengembangan energi panas bumi di darat selesai. 

Kalau kita melihat adanya MoU ini, ada kesan Kementerian Kehutanan melunak sehingga mengeluarkan pengembangan panas bumi dari kegiatan pertambangan. Bagaimana Anda melihat ini?
Adanya MoU percepatan pengembangan panas bumi ini, karena Menteri Kehutanan telah mengerti benar bahwa ke depan masalah energi merupakan persoalan krusial yang akan menentukan Indonesia di masa mendatang. Untuk itu, persolan energi ini harus betul-betul dipikirkan.
Dan kalau kita bicara energi ke depan, kita harus menghindar dari penggunaan energi minyak atau energi fosil yang lain. Karena cadangan energi fosil tersebut semakin lama makin berkurang. Minyak misalnya, waktu saya terkahir menjabaat sebagai Kepala BP Migas, produksi kita masih 1.030.000 barel per hari. Tapi sekarang hanya sekitar 900.000 barel per hari.
Kita harus sadar, jangan lagi mengandalkan pada sumber energi yang sumbernya makin habis, harganya makin tinggi, dan kita makin tidak punya. Sehingga satu-satunya cara, kita harus mengandalkan energi terbarukan, yaitu panas bumi, matahari, angin, biomassa, air, mikrohidro maupun air laut. Itu yang harus kita kembangkan ke depan.
Pengembangan energi terbarukan ini, memang tengah menjadi fokus hampir semua negara di dunia. Cina sudah mengembangkan lebih dulu, kemudian Malaysia dan Thailand juga sudah mulai mengembangkannya. Apalagi negara-negara Eropa. Jadi memang tendensinya ke depan, energi terbarukan ini akan menjadi primadona.
Bahkan kalau kita lihat di luar negeri, semua perusahaan-perusahaan minyak dunia telah memiliki kegiataan di bidang energi terbarukan. Kita jangan sampai ketinggalan dengaan mereka. Karenanya saat ada pertemuan dengan jajaran direksi Pertamina, saya juga mengatakan, hendaknya Pertamina mulai melangkah pada bisnis energi lain, selain minyak, seperti perusahaan minyak internasional. 

Bukankah Pertamina sudah punya anak perusahaan Pertamina Geothermal?
Memang benar. Tapi itu baru sebatas pengembangan sumber energi panas bumi atau geothermal. Sementara energi baru dan terbarukan yang lain, belum dikembangkan. Makanya ke depan, kita juga mendorong Pertamina untuk lebih serius mengembangkan energi baru dan terbarukan yang lain.

Dari berbagai sumber energi baru dan terbarukan itu, sebenarnya mana yang menjadi prioritas pemerintah untuk dikembangkan?
Kalau ada pertanyaan, mana dari sumber-sumber energi terbarukan itu yang diprioritaskan? Jawabannya, tidak ada. Mana yang terbaik kita ambil. Misalkan di suatu daerah, banyak sumber panas buminya maka itu yang kita kembangkan. Kemudian di daerah lain lagi, yang banyak sumber anginya maka yang kita kembangkan energi angin. Atau di daerah lainnya yang banyak justru sumber energi biomassanya, ya itu yang kita kembangkan.
Dan terkait pengembangan energi biomassa dan biogas ini, Menteri ESDM telah menandatangani tarif listrik yang harus dibeli oleh PLN. Terus terang ini merupakan kemajuan yang sangat progresif, karena dalam ketentuan baru itu harga jual listrik dari pembangkit biomassa meningkat hingga 50%, dari sebelumnya hanya Rp 656 per kilowatt hour (kWh) menjadi Rp 975 per kWh. 

Untuk harga jual listrik dari pembangkit biogasnya bagaimana?
Untuk harga jual listrik biogas, kita kelompokkan dalam dua kategori. Yaitu, untuk listrik dari sampah kota tanpa sisa sampah (zero waste), harga jualnya sebesar Rp 1.050 per kWh, sedang model pembangkit sampah yang masih menyisakan sampah (landfill) harga jualnya sebesar Rp 850 per kWh.

Apakah harga jual listrik itu berlaku untuk seluruh wilayah?
Tidak. Karena sesuai mekanisme feed in tariff, harga jual listrik dari pembangkit biomassa dan biogas itu juga dibedakan per wilayah. Untuk Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, harga jual listrik biomassanya kita tetapkan sebesar Rp 1.170 per kWh, sedang dari pembangkit zero waste kita tetapkan sebesar Rp 1.260 per kWh, dan dari pembangkit landfill sebesar Rp 1.020 per kWh.
Untuk wilayah Maluku dan Papua, harga jual listrik dari pembangkit biomassanya sebesar Rp 1.267,5 per kWh, sementara dari pembangkit zero waste sebesar Rp 1.365 per kWh, dan dari landfill sebesar Rp 1.105 per kWh.
Sebelumnya, sesuai ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.31/2009, harga jual listrik untuk seluruh pembangkit energi baru di Jawa-Bali dipatok sebesar Rp 656 per kWh untuk tegangan menengah dan Rp 1.004 per kWh untuk tegangan tinggi.
Untuk di Sumatera dan Sulawesi, masing masing Rp 787,2 per kWh dan Rp 1.204,8 per kWh. Untuk wilayah Kalimantan, NTT, dan NTB masing-masing Rp 852,8 per kWh dan Rp 1.305,2 per kWh. Dan untuk Maluku dan Papua, masing-masing sebesar Rp 984 per kWh dan Rp 1.506 per kWh. ***

Tony Wenas


Perlu Sinkronisasi Kebiajakan di Kemenhut

Persoalan kebijakan di Kementerian Kehutanan (Kemenhut), sepertinya menjadi prioritas yang harus segera dibenahi ke depan. Dan ketidaksinkronan kebijakan antarsektor, merupakan peroalan utama yang dirasakan paling mengganggu bagi perusahaan di bidang pertambangan.

Jabatannya saat ini memang sebagai Presiden Komisaris PT Raiu Pulp and Paper (RAPP), setelah resmi keluar dari perusahaan pertambangan nikel, yaitu PT International Nickel Indonesia (INCO). Tapi hingga saat ini, Tony Wenas tetap menjadi Wakil Ketua Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesia Mining Associations/IMA).
Ditemui TOPIS di ruang kerjanya, baru-baru ini, mantan petolan band era 80-an (Solid ’80)pun memaparkan sejumlah persoalan di Kementerian Kehutanan (Kemenhut) yang dirasakan menjadi kendala untuk pengembangan industry pertambangan di Indonesia.
Menurut dia, saat ini ada semacam ego sektoral di kalangan kementerian yang mengurusi sumber daya alam (SDA) di Indonesia, seperti Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Pertanian.
Dan adanya ego sektoral tersebut, mengakibatkan banyak peraturan dan kebijakan di sector pengelolaan SDA ini akhirnya saling overlapping atau tumpangtindih. Ini membuat, pengusaha menjadi gamang. Karena bimbang untuk mengikuti peraturan yang mana.
“Bagi industri pertambangan, pasti akan mengikuti peraturan dari Kementerian ESDM, dan Undang-undang yang digunakan dan jadi acuan pastilah Undang-undang Pertambangan. Tapi persoalannya, saat ini juga ada pembatasan dari Kementerian Kehutanan terhadap industri pertambangan,” papar Tony.
Menurut dia, bagi pengusaha, tidak masalah kalau harus diatur. “Diatur bagaimana pun, pengusaha tidak masalah. Selama aturannya jelas. Jangan terjadi tumpang tindih. Karena ini justeru akan membingungkan kami,” ucap dia.
Karena pertimbangan ini, dia pun mengusulkan, di Indonesia sebaiknya dibentuk Kementerian Kordinator Bidang SDA, sebagai payung dari seluruh kementerian yang mengurusi sektor SDA. Sebab menurutnya, di Indonesia SDA, seperti minyak dan gas (Migas), batubara, nikel, tembaga dan petambangan yang lain sangat dominan. Begitu pun dengan kehutanan, ada berapa juta hektar potensi yang ada di Indonesia. Hal sama juga terjadi pada sektor pertaian dan perkebunan. Potensi sektor ini juga sangat besar.
Dan semua sumer daya alam ini sangat dominandimonan, khususnya dalam memberikan kontribusi bagi produk domestik bruto (PDB) nasional. “Jadi kenapa kita tidak bentuk saja satu Kementerian Kordinator SDA,” tandasnya.
Dia mencontohkan, kebijakan ini telah diambil oleh salah satu negara tetangga Indonesia. Di negara itu,  ada yang namanya Menteri SDA, dan di bawahnya ada Dirjen Pertambangan, Dirjen Migas, Dirjen Kehutanan dan juga Dirjen Lingkungan Hidup. “Jadi sektor-sektor yang saat ini dipegang oleh kementerian  di Indonesia, di sana hanya di level Dirjen. Memang mungkin di negara itu sumber daya alamnya tidak sebesar Indonesia. Tapi yang pasti, kebijakannya menjadi lebih jelas dan terarah.”
Menurut dia, Kalau kita bicara baagaimana kebijakan di Indonesia, sebenarnya semua yang diatur oleh negara ini seuanya baik. Cuma bagaimana mengaturnya, itu yang perlu dibenahi. Karena bagi investor, yang terpenting ada kepastian hukum dan kepastian berusaha.
“Jadi semuanya harus jelas. Jangan terjadi tumpangtindih dan jelas diaturya. Karena yang namanya hukum, kalau setelah diundangkan tapi dalam kenyataannya susah untuk diimplemntasikan. Maka dia menjadi mandul dong,” tambah Tony.
Hapus Pasal 38
Bagi industri pertambangan, persoalan yang kerap kali menjadi permasalahan dan berbenturan dengan Kementerian Kehutanan adalah persoalan izin pinjam pakai. Dan benturan antara sektor pertambangan dengan Kemenhut tersebut, terjadi sejak diundangkannya UU No.41/1999 tentang Kehutanan.
Khususnya Pasal 38 UU 41/1999. Dimana dalam Pasal 38 disebutkan, pertambangan dengan pola terbuka di kawasan hutan lindung dilarang. Dengan adanya ketentuan ini, ada kesan sektor kehutanan mengatur pertambangan. Seharusnya, tambah dia, yang mengatur pertambangan, hanya kementerian pertambangan. ”Ini kok UU Kehutanan malah melarang kegiatan pertambangan.”
Apalagi tipikal pertambangan di Indonesia, pada umumnya kandungan mineral berada tidak jauh dari permukaan tanah. Sehingga yang paling memungkinkan dilakukan, adalah dengan pola pertambangan terbuka.
“Orang sumber mineralnya ada di permukaan, kok ditambang dengan cara bawah tanah. Ini kan tidak masuk akal, karena tetap saja akan bolong. Atau mungkin juga bisa menyebakan longsor, yang justeru akan lebih membahayakan,” tandas Tony.
Dan yang menjadi masalah lagi, sebagian wilayah tambang itu berada di wilayah hutan, termasuk hutan lindung. Ini, menurut dia, tentu sangat menghambat investasi di sektor pertambangan. Karena dengan adanya ketentuan itu, praktis perusahaan pertambangan yang telah mendapatkan izin tidak bisa melaksanakan kegiatan penambangan. Kecuali 13 izin pertambangan seperti yang ditentukan Keputusan Presiden (Keppres) No.41 /2004.
Menurut Tony Wenas, harusnya pasal 38 dalam UU 41 itu ditiadakan. Sebab, seharusnya pertambangan terbuka boleh dilakukan di hutan lindung, dengan syarat tertentu. Bagaimana syaratnya,menurut dia, itu bisa ditentukan kemudian. Karena Pasal 33 UUD 1945 sendiri dengan tegas mengatakan, bumi, air dan kekayaan yang  terkandung di dalammnya dikuasai oleh negara untuk diusahakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
 “Seharusnya kan, boleh diusahakan tapi dengan syarat-syarat yang jelas. Seperti harus ada izin pinjam pakai, ada pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tata air yang baik, dan sebagainya. Kalau sekarang kan sama sekali tidak boleh. Itu kan sama saja dengan melanggar Pasal 33 UUD 1945,” tandas Tony.
Dia juga mengungkapkan, pada dasarnya semua pertambangan yang bertanggungjawab, pasti akan memeperhatikan masalah lingkungan. Meski demikian dia mengakui, saat ini masih banyak sekali pertambangan kecil di daerah yang main babat saja dan tidak memperhatikan masalah lingkungan. ”Ini yang tidak betul. Tapi ini bukan anggota IMA, karena izin pertambangan jumlahnya mencapai 10.000,” tambahnya.
Menurut Tony, sebagian besar anggota IMA adalah perusahaan pertambangan mineral yang telah mendapatkan izin sebelum diterbitkannya UU 41 tetang Kehutanan. “Dan Alhamdulillah, saat ini hanya tinggal beberapa perusahaan yang masih terbentur dengan persoalan Pasal 38 UU 41/1999 tersebut,” terangnya.
Penegakan Hukum
Selain persoalan kebijakan, yang juga paling dirasakan menghambat investor pertambangan akhir-akhir ini, adalah persoalan penegakan hukum atau low enforcement. Sekarang ini, menurut dia, ada kecenderungan, pemerintah seolah membiarkan aksi kriminalitas yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat.
Di contohkan, aksi anarkis masyarakat yang tidak setuju atas keberadaan suatu perusahaan di wilayahnya hingga membakar kantor bupati atau membakar camp-camp perusahaan.Seharusnya pelaku aksi itu ditangkap, karena sudah merupakan tindakan kriminal. Tapi kecenderungan yang terjadi saat ini, pemerintah dan aparat justeru membiarkannya. Dan malah menuntut perusahaan untuk menyeklesaikan sendiri persoalan yang dihadapi.
Dirinya mengaku pernah membaca baca salah satu statement dari pejabat di media massa nasional yang mengatakan, kalau ada perusahaan-perusahaan yang di wilayahnya ada konflik atau tumpangtindih dengan perusahaan lain, tolonglah diselesaikan secara musyawarah.
“Kalau menurut saya, itu statement yang salah. Karena permasalahan itu tidak akan terjadi kalau pemerintah tidak menerbitkan izin di atas izin orang atau perusahaan lain,” tambah Tony. Menurutnya, masyarakat yang keberatan terhadap izin suatu perusahaan di daerahnya, seharusnya juga bisa menyelesaikannya secara musyawarah dan dialog. Bukan dengan aksi bakar membakar.
Selanjutnya, bicara mengenai tata batas wilayah,menurut Tony Wenas, di industri pertambangan tentu sudah sangat jelas sekali. Karena sebelum diterbitkannya Izin Usaha Produksi (IUP), setiap perusahaan pertambangan sebelum produksi harus lebih dulu melakukan kegiatan ekspolrasi, feasibility study, dan kontruksi. Dimana tiap tahapan-tahapan itu dilaksanakan, dilakukan pengukuran, sehingga jelas tata batasnya.
Menurut dia, permasalah tata batas, mungkin saja masih ada di sektor kehutanan. Karena misalnya, satu perusahaan HTI mendapatkan kawasan konsesi di suatu blok dengan luas 10.000 hektar, tentu saja tata batasnya belum ditentukan karena bentuknya masih hutan semua.
Terkait surat edaran Menhut  (SE.1/ Menhut/2012 tentang Pelaksanaan Tata Batas Areal Izin Usaha  Pemanfaatan Hutan) yang mengharuskan pemegang izin untuk menyelesaikan tata batas wilayahnya selama 3 bulan (sejak pertengahan Februari 2012), menurutnya, merupakan himbauan yang terlalu lu optimistis, karena sangat sulit untuk dilakukan.
Sebab menurut, Tony, penyelesaian tata batas sangat tergantung pada luas wilayah dan tingkat kesulitannya di areal yang menjadi konsesi. Belum lagi dengan jumlah tenaga yang digunakan untuk menyelesikan tata batas tersebut. Tapi terlepas dari itu, Tonyu setuju, jika tata batas memang harus dilakukan. Sebab, masalah  itu menyangkut batas definitive wilayah kerja suatu perusahaan.
Terkait enam opsi penyelesaikan konflik lahan, khususnya yang menyangkut masalah masyarakat adat. Menurut dia, juga sangat sulit untuk dilaksanakan. Karena dalam hukum positif kita sendiri, hanya mengakui keberadaannya masyarakat adat. Sementara hokum adatnya tidak diatur.
Dengan demikian, kalau kita bicara mengenai masyarakat adat, maka yang juga menjadi pertanyaan adalah masyarakat mana yang harus diakui. Karena di Papua misalnya, di sana ada ratusan suku dan masing-masing punya sub suku-suku lagi.
“Jadi masyarakat adat mana yang harus kita akui. Belum lagi mengenai siapa yang menjadi pemimpinya. Karena di sana juga banyak pemimpin atau orang yang mengaku-aku sebagai kepala adat,” ucapnya.
Soal wilayah adat, juga akan menjadi persoalan. Karena selama ini tidak ada pemetaan yang jelas atas wilayah tanah adat. Masyarakat adat umumnya memakai patokan tidak tertulis untuk menentukan wilayahnya. Ada masyarakat yang mengklaim sebagai tanah adatnya karena mereka telah memakamkan kelaurganya di daerah itu. Atau ada juga mengklaim suiatu wilayah sebagai tanah adatnya, karena mereka melakukan aktivitas beruburu di daerah itu.
Dan kalau dari segi hukumnya, hukum adat hanya bias diakui keberadaanya kalau masih hidup dan gugubakan dalam kehidupoan sehari-hari. “Inilah yang menjadi persoalan utama kalau kita bicara mengenai masyarakat adat. Misalnya masyarakat adat Melayu Riau, ya hanya orang Melayu Riau. Orang Jawa atau orang Sumatera Utara yang telah tinggal selama puluhan tahun di situ, tetap saja disebut sebagai pendatang. Karena yang namnya masyarakat adat, ya orang setempat yang benar-benar asli dari daerah itu,” papar dia.
Dia juga menilai, kalau kita berpatokan pada masyarakat adat, sama saja dengan terjadi kemunduran hukum. Karena sekarang ini kita bergerak ke arah hukum positif. Jadi yang paling legitimit dalam kaitan ini, menurut dia, adalah Kepala Desa, sebagai perwakilan dari suatu desa, dengan ditambah tokoh-tokoh masyarakat.
Menurutnya, tidak bisa suatu tataran masyarakat adat, diberlakukan untuk masyarakat lain. Seperti di Riau, tidak bisa orang dari Jawa dipaksakan untuk diberlakukan dengan aturan masyarakat Melayu Riau.
Tony mengaku setuju jika dalam pengelolaan sumber daya alam, pengusaha harus benar-benar memperhatikan aspirasi masyarakat setempat. Menurut dia, keberadaan perusahaan di suatu wilayah juga harus benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat setempat. ***

  

Reklamasi:


Jeffrey Molyono, Ketua FRHLBT
Reklamasi harus Berikan Manfaat Konkret


Aktivitas reklamasi lahan bekas tambang, 
kini tidak hanya sebatas menghijaukan kembali 
lahan bekas tambang. Tapi diarahkan 
agar pohon yang ditanam di areal itu bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat sekitar 
dan menjamin kelangsungan biodiversity.

"Mobil bagus, sementara lingkungan di sekitar perusahaannya rusak, kalo saya sih malu." Demikian antara lain ucapan yang pernah dilontarkan Jeffrey Mulyono untuk menyindir perusahaan-perusahaan pertambangan, yang menurutnya kurang peduli terhadap tanggungjawab dan kewajiban mereklamasi hutan bekas areal pertambangan.

Memang, sebagai Ketua Forum Reklamasi Hutan Pada Lahan Bekas Tambang (FRHLBT)—Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengkhususkan diri di bidang reklamasi hutan bekas tambang, dirinya tentu sangat peduli dengan persoalan tersebut.

Bicara reklamasi hutan pada areal bekas tambang, menurut Jeffrey Mulyono, saat ini telah ada aturan-aturan yang membantu kejelasan aktivitas reklamasi, baik aturan dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) maupun dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Kini, arah aktivitas reklamasi tidak hanya sebatas menanami kembali atau menghutankan areal bekas tambang. Tapi lebih diarahkan untuk menanam tanaman yang memberikan manfaat untuk masyarakat sekitar, seperti karet atau tanaman kayu lain yang mempunyai hasil.
“Karena pertimbangan itu, saat ini aktivitas reklamasi ditata untuk menanam pohon-pohon yang memilki daya guna, lebih teratur dan sebagainya,” ujar  Jeffrey Mulyono saat perbicangan dengan penulis di kantornya, beberapa waktu lalu.

Menurut Presdir PT Bhakti Energi Persada (BEP) ini, rehabilitasi atau reklamasi hutan bekas tambang, bukan hanya sekedar menanam pohon lalu selesai. Tapi juga harus dipikirkan kelangsungan hidup keanekaragaman hayati di kawasan itu, seperti burung-burung, rusa atau yang lainnya. Artinya, pohon-pohon yang ditanam juga harus ditambah dengan tanaman yang menjadi sumeber makanan bagi beragam satwa yang hidup di areal tersebut.

Karenanya menurut dia, aktivitas reklamasi harus bisa mengembalikan lahan bekas tambang itu pada biodiversity awal –sebelum dilakukan kegiatan penambangan. “Memang tidak bisa sepenuhnya kembali seperti semula, tapi paling tidak, bisa mendekati.” 

Dia mencontohkan, saat ‘heboh’ tanaman jarak.Di lahan bekas tambang batubara PT Berau Coal-perusahaan batubara tempatnya bekerja sebelum pindah ke PT BEP, kami sempat menanam pohon jarak untuk mereklamasi lahan bekas tambang. Bahkan luasnya sampai sekitar 70 hektar. Tapi ternyata, pohon jarak yang kami tanam itu, menurut orang Kemenhut bukanlah pohon. Tapi dikategorikan sebagai tanaman perdu. Tapi ada pendapat lain mengatakan, tanaman jarak merupakan jembatan antara perdu dengan pohon. Karena dia dapat hidup hingga usia tahunan dan tumbuh hingga mencapai ketinggian 4 meter.

Seharusnya, ucap Jeffrey,  yang dilihat bukan pohon atau perdu-nya. Tapi manfaat dari tanaman tersebut, khususnya bagi masyarakat sekitar.” Sehingga ini juga mengundang pertanyaa, pohon itu menurut Kehutanan apa? Kalau kami sebagai pelaku usaha, melihatnya dari kegunaannya. Kalau tanaman di lahan reklamasi hijau royo-royo, tapi rakyatnya miskin. Itu kan tidak lucu,” tandas dia.

Begitupun dengan tanaman kelapa sawit. Ternyata tanaman sawit ini juga sangat bagus jika dikembangkan di lahan reklamasi. Selain itu juga sangat disenangi oleh masyarakat, karena ada hasil yang bisa didapatkan.

Dan yang juga harus diingat, pohon sawit ini paling tidak selama 25 tahun tidak akan dipotong karena merupakan umur produktivitas tanaman itu untuk menghasilkan buah. Kalau ada persoalan bahwa akar dari tanaman kelapa sawit berjenis serabut, itu kan merupakan masalah teknis.

Tapi ‘teman-teman” di Kehutanan (Kemenhut) tidak terlalu suka dengan tanaman Kelapa sawit, jika dikembangkan di areal bekas tambang. Ini kan aneh. Tapi karena tanaman itu domainnya Kementerian Pertanian, jadi seolah-olah dimusuhi oleh orang-orang di Kementerian Kehutanan. Padahal sawit, jelas-jelas memberikan hasil dan bisa memberikan manfaat untuk masyarakat.

Selain kehutanan, kalangan LSM juga selalu meributkan sawit merusak hutan. Padahal, apanya yang dirusak. Mereka selalu mendambakan biodiversity. Tapi biodiversity di areal tanaman sawit yang diributkan oleh para NGOs tersebut, ketika itu punyanya perusahaan besar. Tapi punya rakyat tidak pernah diganggu. Padahal luasnya sama juga.

Keberhasilan pengembangan tanaman kelapa sawit di areal bekas tambang ini, menurut Jeffrey, bisa dilihat di areal milik PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur (Kaltim). Bahkan saat ini, pohon-pohon sawit yang bersia antara 3 – 4 tahun tersebut mulai ‘berbuah  pasir’.

Namun begitu dia mengakui, bagaimana rendemen dari buah sawit (TBS) tersebut ke depan, belum bisa diketahui. Tapi rasanya, kalau tanaman tersebut menggunakan bibit yang bagus dan dilakukan pemupukan seperti yang dilakukan perusahaan perkebunan sawit profesional,  hasilnya juga akan bagus.

Persoalan lain terkait manfaat aktivitas reklamasi itu bagi masyarakat, adalah karena tidak semua daerah, masyarakatnya bisa diajak untuk bicara mengenai apa-apa tanaman yang mereka inginkan, sehingga dapat dipetik hasilnya.

Untuk di Kalimantan, mungkin iya. Masyarakat di sana bisa diajak diskusi dan bicara mengenai tanaman yang mereka inginkan untuk ditanam di areal reklamasi bekas tambang. Tapi daerah lain, belum tentu. Bahkan kalau kita bicara dengan Pemerintah Daerah (Pemda) saja, mereka juga kadang-kadang tidak tahu apa-apa.

Perusahan Memengah dan Kecil

Dalam pelaksanaannya, reklamasi hutan bekas tambang ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Karena masih banyak perusahaan-perusahaan, khususnya perusahaan pertambangan skala menengah dan kecil, kurang memiliki kesadaran untuk melaksanakan reklamasi dengan baik.

Perusahaan-perusahaan skala menengah dan kecil inilah yang menjadi fokus FRHLBT. Karena sebagai lembaga yang juga diinisiasi oleh Kemenhut ini, ingin mendorong agar semua perusahaan pertambangan merasa malu jika tidak melakukan reklamasi atas areal bekas tambangnya.   

“Kalau perusahaan-perusahaan besar, sih clear sekali. Apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya? Malah di kalangan perusahaan pertambangan besar ini, ada semacam persaingan sehingga mereka berlomba membuat reklamasi yang baik dan berhasil, demi mendapatkan pengakuan dari pihak lain,” paparnya.

Lebih lanjut dijelaskan, Forum RHLBT memiliki empat misi. Keempat misi tersebut antara lain adalah, pertama, menyosialisasikan good reclamation practices. Melalui misi ini kita ingin menekankan agar perusahan tambang merasa malu jika tidak melakukan reklamasi.

Kedua, bersama Kemenhut dan  Kementerian ESDM menata perundang-undagan yang ada. Mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Menteri (Permen)-nya. Melalui misi ini, kami ingin agar masing-masing kementerian itu tidak ego sentries.

Ketiga, mengajak generasi muda untuk lebih mengenali aktivitas reklamasi dan penghutanan areal. Melalui misi ini, FRHLBT ingin menanamkan agar generasi muda tahu dan mengerti mengeni aktivitas reklamasi dan menghutankan lahan. Sehingga jika mereka menjadi pemimpin atau berada di posisi top manajemen sebuah prusahaan pertambangan, mereka sudah mengerti apa yang harus dilakukan dalam kaitan aktivitas reklamasi.

Karena kebanyakan, menurut Jeffrey Mulyono, tidak adanya tanggungjawab dari perusahaan pertambangan atas masalah reklamasi hutan, karena manajemen perusahan tersebut tidak mengenal dan mengerti apa yang harus dilakukan.

Dia juga menegaskan, kendala utama dari aktivitas reklamasi adalah komitmen dan etika dari perusahaan tambang. Kalau tidak punya komitmen dan etika, ya kegiatan reklamasinya hancur.

Karena itu juga, mengapa Forum RHLBT berapi-api menyosialisasikan pentingnya kegiatan reklamasi dan penghijauan hutan kepada mahasiswa sebagai generasi penerus. Agar sejak awal dalam diri mereka telah tertanam rasa kecintaan akan alam, tanggungjawab sosial dan lingkungan. Sehingga ketika mereka masuk dalam top manajemen di perusahaan tambang, mengerti apa yang harus dilakukan.

Dia bersyukur, saat ini selain perusahaan-perusahaan pertambangan besar, juga ada beberapa perusahaan pertambangan skala kecil yang berhasil melaksanakan reklamasi dengan baik. Salah satu contohnya adalah Kuasa Pertambangan (KP) yang ada di Pulau Menjangan, Samarinda, Kalimantan Timur. Bahkan karena keberhasilannya, Menteri Kehutanan bersama tamu dari Uni Eropa pernah berkunjung kesana.

Dikelola Kembali

Persoalan lain yang juga menjadi kendala dalam aktivitas reklamasi lahan bekas tambang, menurut Jeffrey, adalah status lahan pasca reklamasi. Dimana setelah lahan bekas tambang tersebut direklamasi dan berhasil, harus dikembalikan kepada negara. Dan kalau mau diambil hasilnya, harus dilakukan tender.

Persoalan ini juga merupakan salah satu factor yang mendorong perusahaan pertambangan kurang serius menjalankan reklamasinya. “Siapa yang mau nanam baik-baik, tapi setelah ditender yang menang orang lain.”

Seharusnya, menurut dia, untuk mengelola hutan hasil reklamasi ini, ditujuk satu perusahaan tersendiri. Atau kalau perlu, perusahaan pertambangan bersangkutan yang diberikan kepercayaan untuk membuka unit usaha hutan tanaman industri (HTI), dengan melibatkan masyarakat sebagai plasma. 

Pola seperti ini, menurut dia, telah diberlakukan di Jepang. Bahkan pejabat eselon satu  dan dua dari Kemenhut pernah melihat langsung hutan pada lahan bekas tambang yang dikelola sendiri oleh perusahaan tambangnya, melalui anak perusahaannya.

Yaitu areal bekas tambang dari Sumitomo Mining Corporation, yang telah direklamasi dan berubah menjadi hutan. Dan hutan tersebut  kini menjadi areal konsesi yang dikelola oleh anak usahanya, yaitu Sumitomo Forestry.

Ini bisa terjadi, karena sebelum aktivitas pertambangan dari Sumitomo Mining habis, konsesi itu telah diberikan kepada Sumitomo Forestry sehingga terjadi kesinambungan.
“Kalau saja kebijakan seperti ini bisa diberlakukan di Indonesia, tentu bagus sekali. Karena terjadi kesinambungan. Bahkan hutan pada areal bekas tambang yang kini dikelola oleh Sumitomo Forestry itu bagus sekali. Malah telah menjadi gudangnya kayu di Jepang,” pungkas Jeffrey. ***