Pemerintah akan
memberlakukan skema harga feed in tariff untuk harga jual beli listrik dari Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Dengan ketentuan baru ini tidak ada lagi
negosiasi harga jual beli listrik antara pengembang dan PT PLN, yang selama ini berlarut-larut serta menyita banyak waktu.
Pemerintah Indonesia sepertinya mulai serius mengembangkan
energi panas bumi atau geothermal untuk pembangkitan listrik. Setelah proses
pengembangannya dipermudah dan dipercepat, lewat nota kesepahaman (MoU) antara
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM). Pemerintah juga akan memberlakukan skema harga jual listrik
yang lebih menarik bagi pengembang energi terbarukan ini.
Nantinya harga jual
listrik dari pembangkit di suatu pulau, akan ditetapkan berdasarkan seberapa
mendesaknya kebutuhan atas energi panas bumi untuk menggantikan sumber energi
lain, seperti bahan bakar minyak (BBM) ataupun batubara. Semakin tinggi tingkat
kebutuhannya, maka harga jual listriknya yang harus dibeli oleh PLN menjadi
semakin mahal. Sebaliknya, semakin kecil tingkat kebutuhannya, maka semakin
rendah pula harga listrik yang harus dibeli PLN dari pembangkit itu.
Bukan hanya mempermudah proses perizinan dan menetapkan skema
harga yang lebih menarik untuk pengembang, dalam rangka mempercepat
pengembangan sumber energi panas bumi, Kementerian ESDM melalui Direktorat
Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) juga telah
menyiapkan sejumlah ‘perangsang’ lainnya. Antara lain mengubah proses
pelelangan, memberikan insentif untuk investor, dan memberikan dukungan yang
lebih nyata.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai upaya-upaya yang
dilakukan Kementerian ESDM untuk mempercepat pengembangan sumber energi panas
bumi, khususnya pasca ditandatanganinya MoU bersama Kementerian Kehutanan itu,
wartawan TROPIS Eman Sanusi
berkesempatan mewawancarai Dirjen EBTKE
Kardaya Warnika, di ruang kerjanya belum lama ini. Berikut nukilannya:
Akhir tahun 2011 lalu Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan telah
menandatangani MoU untuk Percepatan Perizinan Pengusahaan Panas Bumi. Sejauh ini bagaimana
perkembangannya?
Setelah adanya MoU tersebut, selanjutnya kedua institusi itu
mulai bekerja sesuai ketentuan dalam kesepakatan itu. Dimana tujuan dari Mou
itu sendiri adalah untuk mempercepat proses, melakukan koordinasi dan untuk
melihat serta menyelesaikan hambatan-hambatan dalam pengembangan geothermal
ini.
Sebagaimana diketahui, dalam hal ini yang membutuhkan izin
adalah para pelaku usaha. Dengan demikian, kita juga meminta pelaku usaha untuk
menyiapkan apa-apa yang diperlukan dalam kaitan dengan perizinan itu. Karena
kalau mereka tidak menyiapkan segala yang diperlukan dalam proses perizinan
itu, kita juga tidak mungkin memprosesnya.Dan Alhamdulillah, saat ini sudah
berjalan.
Selain persoalan tumpang- tindih lahan dengan kawasan hutan lindung, sebenarnya
apa saja yang menjadi penghambat pengembangan panas bumi di Indonesia?
Sebenarnya yang menjadi penghambat pengembangan energi panas
bumi, bukan hanya dari sektor kehutanan, khususnya terkait tumpang-tindih lahan
dengan hutan lindung dan hutan konservasi. Tapi juga ada beberapa persoalan
lain, seperti penjaminan dari pemerintah
dan persoalan lainnya.
Dan yang juga harus diketahui, karakteristik persoalan yang
menjadi penghambat dari tiap-tiap perusahaan atau pengembang itu berbeda.
Karena itu, kita selesaikan sesuai dengan apa yang dihadapi oleh masing-masing
pelaku usaha.
Persisnya apa saja persoalan yang mengganjal pengembangan panas bumi?
Kita memang telah mengidentifikasi, ada beberapa persoalan
yang menjadi faktor penghambatnya. Pertama, yang terkait dengan masalah harga
jual listriknya kepada PLN. Persoalan di sini, adalah proses negosiasi harga
yang terlalu lama, walaupun sudah dipatok ada harga maksimum sebesar 9,7 sen
dolar AS per kWh. Tapi tetap saja proses negosiasinya masih lama.
Karena itu, ke depan kita ingin menghindari proses negosiasi
yang lama ini dengan menetapkan feed in
tariff. Artinya, harga jual listrik yang harus dibeli oleh PLN itu sesuai
dengan yang ditentukan oleh pemerintah. Jadi tidak ada lagi negosiasi antara
PLN dengan pihak pengembang.
Lebih konkretnya?
Saat ini kami sedang melakukan kajian, untuk menetapkan
harga yang layak dan sesuai untuk ditetapkan di suatu wilayah. Saat ini sudah
dalam proses akhir. Nantinya, harga jual
listrik dari PLTP kepada PLN tersebut ditetapkan per pulau. Misalnya, untuk
Pulau Jawa berapa? Sumatera berapa? Dan di NTT berapa?
Kenapa? Karena kepentingan geothermal bagi negara, dari satu
pulau dengan pulau lainnya berbeda. Misalnya di Sumatera, kalau tidak ada
geothermal, masih bisa pakai gas atau batubara dan lainnya. Sehingga harganya
mungkin bisa lebih murah dari di Jawa. Karena di Jawa, kalau tidak pakai
geothermal, tidak mungkin lagi menggunakan batubara atau minyak dan gas. Karena
di Jawa penduduknya lebih banyak. Di samping itu juga harus dipertimbangkan
pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh pembangkit batubara. Jadi, harga
jual listrik dari pembangkit geothermal di Jawa pasti lebih mahal dari Sumatera.
Sementara di NTT, di sana tidak ada batubara gas juga tidak ada, tapi demand-nya kecil. Sehingga sekarang ini lebih banyak pembangkit
yang menggunakan minyak solar atau Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).
Makanya, untuk meninjau dan menetapkan harga jual listrik dari pembangkit panas
bumi di sana harus lebih tinggi dari Jawa, tapi juga harus lebih murah dari
harga jual dari pembangkit diesel tersebut.
Untuk proses pelelangan, bagaimana perubahannya?
Kalau sebelumnya, setelah selesai proses lelang, kemudian
harganya harus dirundingkan lagi. Tapi sekarang tidak lagi. Begitu dilelang,
kemudian kita tentukan harga jual listriknya. Dan selain itu, kita juga beri
batas waktu untuk dapat beroperasi dan menghasilkan energi listriknya.
Misalnya, suatu pengembang harus sudah dapat menghasilkan
listrik paling lambat pada tahun 2016. Tapi kalau sampai batas waktu itu tidak
bisa memproduksi listrik, ya tidak kita berikan. Karena kita tidak ingin,
setelah WK-nya diberikan dan harganya telah telah ditetapkan, tapi produksinya
listriknya menjadi berlarut-larut. Kita tidak mau itu terjadi, karena ini juga
merupakan salah satu faktor mengapa pengembangan panas bumi ini menjadi lama.
Makanya sekarang kita cut.
Selain itu, prosesnya juga kita sederhanakan. Kalau dulu
prosesnya harus melalui tiga tahapannya, yaitu eksplorasi, feasibility study dan baru eksploitasi. Sekarang disederhanakan
menjadi hanya dua tahap, yaitu eksplorasi dan eksploitasi.
Tapi dalam tahapan eksploitasi, pengembang harus memberikan
jaminan bahwa mereka akan melaksanakannya dan dengan menunjukkan kemampuan
finansialnya. Karena yang selama ini terjadi, setelah mendapatkan izin
eksplorasi, justru oleh pihak pengembang dijual lagi kepada pihak lain untuk
mendapatkan pendanaan. Makanya kita tentukan, selama masa ekplorasi tidak boleh
dialihkan dan ada komitmen untuk melaksanakan eksploitasi, seperti yang berlaku
di industri minyak dan gas bumi (Migas).
Terkait masalah insentif dan dukungan
bagi investor, apa yang akan diberikan pemerintah?
Untuk insentif, kami akan memberikan insentif, baik berupa
perpajakan maupun insentif fiskal lainnya. Tapi saat ini masih dalam kajian.
Dan untuk dukungan pemerintah, kami memang telah berkomitmen
untuk memberikan dukungan penuh kepada investor. Kenapa? Karena sekarang ini
energi terbarukan tengah didorong untuk dikembangkan sebagai pengganti energi
yang bersumber dari fosil (minyak dan batubara).
Karena kalau kita lihat potensi energi panas bumi yang
sekitar 29 ribu MW, sebenarnya itu hanya yang ada di darat. Padahal sebenarnya,
potensi panas bumi yang sumbernya dari gunung api juga banyak terdapat di dalam
laut (off shore).
Apalagi Indonesia ini kan lebih banyak lautnya, dibandingkan
daratan. Jadi kemungkinan besar potensi energi panas bumi di dalam laut juga
lebih besar. Karena itu, kami juga tengah memikirkan bagaimana mengembangkan
panas bumi yang ada di dalam laut ini. Karena ada beberapa keuntungan jika kita
kembangkan. Pertama, dia tidak akan
tumpang-tindih dengan kawasan hutan. Dan kedua,
tidak akan dipersulit dengan persoalan pembebasan tanah.
Tapi di dalam laut kan juga ada taman laut, yang juga merupakan kawasan
konservasi. Jika nantinya ternyata panas bumi dalam laut itu berada di kawasan
konservasi, bagaimana?
Kalau pun misalnya potensi panas bumi yang ada di dalam laut
itu berada di bawah taman laut, tetap bisa dieksploitasi. Karena kita bisa
menggunakan teknik pengeboran dari samping atau miring.
Karena walaupun energi terbarukan ini dikenal sebagai sumber
energi yang bersih dan ramah lingkungan, tapi dalam pengembangannya, kita juga
tetap mempertimbangkan masalah-masalah yang terkait dengan konservasi.
Sejauh ini bagaimana kajian atas potensi panas bumi di dalam laut
tersebut?
Kajiannya sendiri saat ini baru mulai dilaksanakan. Karena
pengembangan potensi panas bumi di dalam laut ini, kita prioritaskan untuk
dikembangkan pada tahap berikutnya. Setelah pengembangan energi panas bumi di
darat selesai.
Kalau kita melihat adanya MoU ini, ada kesan Kementerian Kehutanan
melunak sehingga mengeluarkan pengembangan panas bumi dari kegiatan
pertambangan. Bagaimana Anda melihat ini?
Adanya MoU percepatan pengembangan panas bumi ini, karena
Menteri Kehutanan telah mengerti benar bahwa ke depan masalah energi merupakan
persoalan krusial yang akan menentukan Indonesia di masa mendatang. Untuk itu,
persolan energi ini harus betul-betul dipikirkan.
Dan kalau kita bicara energi ke depan, kita harus menghindar
dari penggunaan energi minyak atau energi fosil yang lain. Karena cadangan
energi fosil tersebut semakin lama makin berkurang. Minyak misalnya, waktu saya
terkahir menjabaat sebagai Kepala BP Migas, produksi kita masih 1.030.000 barel
per hari. Tapi sekarang hanya sekitar 900.000 barel per hari.
Kita harus sadar, jangan lagi mengandalkan pada sumber
energi yang sumbernya makin habis, harganya makin tinggi, dan kita makin tidak
punya. Sehingga satu-satunya cara, kita harus mengandalkan energi terbarukan,
yaitu panas bumi, matahari, angin, biomassa, air, mikrohidro maupun air laut.
Itu yang harus kita kembangkan ke depan.
Pengembangan energi terbarukan ini, memang tengah menjadi
fokus hampir semua negara di dunia. Cina sudah mengembangkan lebih dulu,
kemudian Malaysia dan Thailand juga sudah mulai mengembangkannya. Apalagi
negara-negara Eropa. Jadi memang tendensinya ke depan, energi terbarukan ini
akan menjadi primadona.
Bahkan kalau kita lihat di luar negeri, semua perusahaan-perusahaan
minyak dunia telah memiliki kegiataan di bidang energi terbarukan. Kita jangan
sampai ketinggalan dengaan mereka. Karenanya saat ada pertemuan dengan jajaran
direksi Pertamina, saya juga mengatakan, hendaknya Pertamina mulai melangkah pada
bisnis energi lain, selain minyak, seperti perusahaan minyak internasional.
Bukankah Pertamina sudah punya anak perusahaan Pertamina Geothermal?
Memang benar. Tapi itu baru sebatas pengembangan sumber
energi panas bumi atau geothermal. Sementara energi baru dan terbarukan yang
lain, belum dikembangkan. Makanya ke depan, kita juga mendorong Pertamina untuk
lebih serius mengembangkan energi baru dan terbarukan yang lain.
Dari berbagai sumber energi baru dan terbarukan itu, sebenarnya mana
yang menjadi prioritas pemerintah untuk dikembangkan?
Kalau ada pertanyaan, mana dari sumber-sumber energi
terbarukan itu yang diprioritaskan? Jawabannya, tidak ada. Mana yang terbaik
kita ambil. Misalkan di suatu daerah, banyak sumber panas buminya maka itu yang
kita kembangkan. Kemudian di daerah lain lagi, yang banyak sumber anginya maka
yang kita kembangkan energi angin. Atau di daerah lainnya yang banyak justru
sumber energi biomassanya, ya itu yang kita kembangkan.
Dan terkait pengembangan energi biomassa dan biogas ini,
Menteri ESDM telah menandatangani tarif listrik yang harus dibeli oleh PLN.
Terus terang ini merupakan kemajuan yang sangat progresif, karena dalam
ketentuan baru itu harga jual listrik dari pembangkit biomassa meningkat hingga
50%, dari sebelumnya hanya Rp 656 per kilowatt hour (kWh) menjadi Rp 975 per
kWh.
Untuk harga jual listrik dari pembangkit biogasnya bagaimana?
Untuk harga jual listrik biogas, kita kelompokkan dalam dua
kategori. Yaitu, untuk listrik dari sampah kota tanpa sisa sampah (zero waste), harga jualnya sebesar Rp
1.050 per kWh, sedang model pembangkit sampah yang masih menyisakan sampah (landfill) harga jualnya sebesar Rp 850
per kWh.
Apakah harga jual listrik itu berlaku untuk seluruh wilayah?
Tidak. Karena sesuai mekanisme feed in tariff, harga jual listrik dari pembangkit biomassa dan
biogas itu juga dibedakan per wilayah. Untuk Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, harga jual
listrik biomassanya kita tetapkan sebesar Rp 1.170 per kWh, sedang dari
pembangkit zero waste kita tetapkan sebesar
Rp 1.260 per kWh, dan dari pembangkit landfill
sebesar Rp 1.020 per kWh.
Untuk wilayah Maluku dan Papua, harga jual listrik dari
pembangkit biomassanya sebesar Rp 1.267,5 per kWh, sementara dari pembangkit zero waste sebesar Rp 1.365 per kWh, dan
dari landfill sebesar Rp 1.105 per
kWh.
Sebelumnya, sesuai ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri
(Permen) ESDM No.31/2009, harga jual listrik untuk seluruh pembangkit energi
baru di Jawa-Bali dipatok sebesar Rp 656 per kWh untuk tegangan menengah dan Rp
1.004 per kWh untuk tegangan tinggi.
Untuk di Sumatera dan Sulawesi, masing masing Rp 787,2 per
kWh dan Rp 1.204,8 per kWh. Untuk wilayah Kalimantan, NTT, dan NTB
masing-masing Rp 852,8 per kWh dan Rp 1.305,2 per kWh. Dan untuk Maluku dan
Papua, masing-masing sebesar Rp 984 per kWh dan Rp 1.506 per kWh. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar