Selasa, 01 Mei 2012

Reklamasi:


Jeffrey Molyono, Ketua FRHLBT
Reklamasi harus Berikan Manfaat Konkret


Aktivitas reklamasi lahan bekas tambang, 
kini tidak hanya sebatas menghijaukan kembali 
lahan bekas tambang. Tapi diarahkan 
agar pohon yang ditanam di areal itu bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat sekitar 
dan menjamin kelangsungan biodiversity.

"Mobil bagus, sementara lingkungan di sekitar perusahaannya rusak, kalo saya sih malu." Demikian antara lain ucapan yang pernah dilontarkan Jeffrey Mulyono untuk menyindir perusahaan-perusahaan pertambangan, yang menurutnya kurang peduli terhadap tanggungjawab dan kewajiban mereklamasi hutan bekas areal pertambangan.

Memang, sebagai Ketua Forum Reklamasi Hutan Pada Lahan Bekas Tambang (FRHLBT)—Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengkhususkan diri di bidang reklamasi hutan bekas tambang, dirinya tentu sangat peduli dengan persoalan tersebut.

Bicara reklamasi hutan pada areal bekas tambang, menurut Jeffrey Mulyono, saat ini telah ada aturan-aturan yang membantu kejelasan aktivitas reklamasi, baik aturan dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) maupun dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Kini, arah aktivitas reklamasi tidak hanya sebatas menanami kembali atau menghutankan areal bekas tambang. Tapi lebih diarahkan untuk menanam tanaman yang memberikan manfaat untuk masyarakat sekitar, seperti karet atau tanaman kayu lain yang mempunyai hasil.
“Karena pertimbangan itu, saat ini aktivitas reklamasi ditata untuk menanam pohon-pohon yang memilki daya guna, lebih teratur dan sebagainya,” ujar  Jeffrey Mulyono saat perbicangan dengan penulis di kantornya, beberapa waktu lalu.

Menurut Presdir PT Bhakti Energi Persada (BEP) ini, rehabilitasi atau reklamasi hutan bekas tambang, bukan hanya sekedar menanam pohon lalu selesai. Tapi juga harus dipikirkan kelangsungan hidup keanekaragaman hayati di kawasan itu, seperti burung-burung, rusa atau yang lainnya. Artinya, pohon-pohon yang ditanam juga harus ditambah dengan tanaman yang menjadi sumeber makanan bagi beragam satwa yang hidup di areal tersebut.

Karenanya menurut dia, aktivitas reklamasi harus bisa mengembalikan lahan bekas tambang itu pada biodiversity awal –sebelum dilakukan kegiatan penambangan. “Memang tidak bisa sepenuhnya kembali seperti semula, tapi paling tidak, bisa mendekati.” 

Dia mencontohkan, saat ‘heboh’ tanaman jarak.Di lahan bekas tambang batubara PT Berau Coal-perusahaan batubara tempatnya bekerja sebelum pindah ke PT BEP, kami sempat menanam pohon jarak untuk mereklamasi lahan bekas tambang. Bahkan luasnya sampai sekitar 70 hektar. Tapi ternyata, pohon jarak yang kami tanam itu, menurut orang Kemenhut bukanlah pohon. Tapi dikategorikan sebagai tanaman perdu. Tapi ada pendapat lain mengatakan, tanaman jarak merupakan jembatan antara perdu dengan pohon. Karena dia dapat hidup hingga usia tahunan dan tumbuh hingga mencapai ketinggian 4 meter.

Seharusnya, ucap Jeffrey,  yang dilihat bukan pohon atau perdu-nya. Tapi manfaat dari tanaman tersebut, khususnya bagi masyarakat sekitar.” Sehingga ini juga mengundang pertanyaa, pohon itu menurut Kehutanan apa? Kalau kami sebagai pelaku usaha, melihatnya dari kegunaannya. Kalau tanaman di lahan reklamasi hijau royo-royo, tapi rakyatnya miskin. Itu kan tidak lucu,” tandas dia.

Begitupun dengan tanaman kelapa sawit. Ternyata tanaman sawit ini juga sangat bagus jika dikembangkan di lahan reklamasi. Selain itu juga sangat disenangi oleh masyarakat, karena ada hasil yang bisa didapatkan.

Dan yang juga harus diingat, pohon sawit ini paling tidak selama 25 tahun tidak akan dipotong karena merupakan umur produktivitas tanaman itu untuk menghasilkan buah. Kalau ada persoalan bahwa akar dari tanaman kelapa sawit berjenis serabut, itu kan merupakan masalah teknis.

Tapi ‘teman-teman” di Kehutanan (Kemenhut) tidak terlalu suka dengan tanaman Kelapa sawit, jika dikembangkan di areal bekas tambang. Ini kan aneh. Tapi karena tanaman itu domainnya Kementerian Pertanian, jadi seolah-olah dimusuhi oleh orang-orang di Kementerian Kehutanan. Padahal sawit, jelas-jelas memberikan hasil dan bisa memberikan manfaat untuk masyarakat.

Selain kehutanan, kalangan LSM juga selalu meributkan sawit merusak hutan. Padahal, apanya yang dirusak. Mereka selalu mendambakan biodiversity. Tapi biodiversity di areal tanaman sawit yang diributkan oleh para NGOs tersebut, ketika itu punyanya perusahaan besar. Tapi punya rakyat tidak pernah diganggu. Padahal luasnya sama juga.

Keberhasilan pengembangan tanaman kelapa sawit di areal bekas tambang ini, menurut Jeffrey, bisa dilihat di areal milik PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur (Kaltim). Bahkan saat ini, pohon-pohon sawit yang bersia antara 3 – 4 tahun tersebut mulai ‘berbuah  pasir’.

Namun begitu dia mengakui, bagaimana rendemen dari buah sawit (TBS) tersebut ke depan, belum bisa diketahui. Tapi rasanya, kalau tanaman tersebut menggunakan bibit yang bagus dan dilakukan pemupukan seperti yang dilakukan perusahaan perkebunan sawit profesional,  hasilnya juga akan bagus.

Persoalan lain terkait manfaat aktivitas reklamasi itu bagi masyarakat, adalah karena tidak semua daerah, masyarakatnya bisa diajak untuk bicara mengenai apa-apa tanaman yang mereka inginkan, sehingga dapat dipetik hasilnya.

Untuk di Kalimantan, mungkin iya. Masyarakat di sana bisa diajak diskusi dan bicara mengenai tanaman yang mereka inginkan untuk ditanam di areal reklamasi bekas tambang. Tapi daerah lain, belum tentu. Bahkan kalau kita bicara dengan Pemerintah Daerah (Pemda) saja, mereka juga kadang-kadang tidak tahu apa-apa.

Perusahan Memengah dan Kecil

Dalam pelaksanaannya, reklamasi hutan bekas tambang ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Karena masih banyak perusahaan-perusahaan, khususnya perusahaan pertambangan skala menengah dan kecil, kurang memiliki kesadaran untuk melaksanakan reklamasi dengan baik.

Perusahaan-perusahaan skala menengah dan kecil inilah yang menjadi fokus FRHLBT. Karena sebagai lembaga yang juga diinisiasi oleh Kemenhut ini, ingin mendorong agar semua perusahaan pertambangan merasa malu jika tidak melakukan reklamasi atas areal bekas tambangnya.   

“Kalau perusahaan-perusahaan besar, sih clear sekali. Apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya? Malah di kalangan perusahaan pertambangan besar ini, ada semacam persaingan sehingga mereka berlomba membuat reklamasi yang baik dan berhasil, demi mendapatkan pengakuan dari pihak lain,” paparnya.

Lebih lanjut dijelaskan, Forum RHLBT memiliki empat misi. Keempat misi tersebut antara lain adalah, pertama, menyosialisasikan good reclamation practices. Melalui misi ini kita ingin menekankan agar perusahan tambang merasa malu jika tidak melakukan reklamasi.

Kedua, bersama Kemenhut dan  Kementerian ESDM menata perundang-undagan yang ada. Mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Menteri (Permen)-nya. Melalui misi ini, kami ingin agar masing-masing kementerian itu tidak ego sentries.

Ketiga, mengajak generasi muda untuk lebih mengenali aktivitas reklamasi dan penghutanan areal. Melalui misi ini, FRHLBT ingin menanamkan agar generasi muda tahu dan mengerti mengeni aktivitas reklamasi dan menghutankan lahan. Sehingga jika mereka menjadi pemimpin atau berada di posisi top manajemen sebuah prusahaan pertambangan, mereka sudah mengerti apa yang harus dilakukan dalam kaitan aktivitas reklamasi.

Karena kebanyakan, menurut Jeffrey Mulyono, tidak adanya tanggungjawab dari perusahaan pertambangan atas masalah reklamasi hutan, karena manajemen perusahan tersebut tidak mengenal dan mengerti apa yang harus dilakukan.

Dia juga menegaskan, kendala utama dari aktivitas reklamasi adalah komitmen dan etika dari perusahaan tambang. Kalau tidak punya komitmen dan etika, ya kegiatan reklamasinya hancur.

Karena itu juga, mengapa Forum RHLBT berapi-api menyosialisasikan pentingnya kegiatan reklamasi dan penghijauan hutan kepada mahasiswa sebagai generasi penerus. Agar sejak awal dalam diri mereka telah tertanam rasa kecintaan akan alam, tanggungjawab sosial dan lingkungan. Sehingga ketika mereka masuk dalam top manajemen di perusahaan tambang, mengerti apa yang harus dilakukan.

Dia bersyukur, saat ini selain perusahaan-perusahaan pertambangan besar, juga ada beberapa perusahaan pertambangan skala kecil yang berhasil melaksanakan reklamasi dengan baik. Salah satu contohnya adalah Kuasa Pertambangan (KP) yang ada di Pulau Menjangan, Samarinda, Kalimantan Timur. Bahkan karena keberhasilannya, Menteri Kehutanan bersama tamu dari Uni Eropa pernah berkunjung kesana.

Dikelola Kembali

Persoalan lain yang juga menjadi kendala dalam aktivitas reklamasi lahan bekas tambang, menurut Jeffrey, adalah status lahan pasca reklamasi. Dimana setelah lahan bekas tambang tersebut direklamasi dan berhasil, harus dikembalikan kepada negara. Dan kalau mau diambil hasilnya, harus dilakukan tender.

Persoalan ini juga merupakan salah satu factor yang mendorong perusahaan pertambangan kurang serius menjalankan reklamasinya. “Siapa yang mau nanam baik-baik, tapi setelah ditender yang menang orang lain.”

Seharusnya, menurut dia, untuk mengelola hutan hasil reklamasi ini, ditujuk satu perusahaan tersendiri. Atau kalau perlu, perusahaan pertambangan bersangkutan yang diberikan kepercayaan untuk membuka unit usaha hutan tanaman industri (HTI), dengan melibatkan masyarakat sebagai plasma. 

Pola seperti ini, menurut dia, telah diberlakukan di Jepang. Bahkan pejabat eselon satu  dan dua dari Kemenhut pernah melihat langsung hutan pada lahan bekas tambang yang dikelola sendiri oleh perusahaan tambangnya, melalui anak perusahaannya.

Yaitu areal bekas tambang dari Sumitomo Mining Corporation, yang telah direklamasi dan berubah menjadi hutan. Dan hutan tersebut  kini menjadi areal konsesi yang dikelola oleh anak usahanya, yaitu Sumitomo Forestry.

Ini bisa terjadi, karena sebelum aktivitas pertambangan dari Sumitomo Mining habis, konsesi itu telah diberikan kepada Sumitomo Forestry sehingga terjadi kesinambungan.
“Kalau saja kebijakan seperti ini bisa diberlakukan di Indonesia, tentu bagus sekali. Karena terjadi kesinambungan. Bahkan hutan pada areal bekas tambang yang kini dikelola oleh Sumitomo Forestry itu bagus sekali. Malah telah menjadi gudangnya kayu di Jepang,” pungkas Jeffrey. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar