Selasa, 04 Desember 2012

'Ngintip' Pabrik CPO Unit PSB I Milik PTPN VI di Jambi



Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit


Menggantungkan operasional dengan sumber bahan baku kelapa sawit sepenuhnya dari kebun petani plasma dan petani swadaya, tentu bukan perkara mudah bagi Pabrik Sei Bahar (PSB) Unit I. Manajemen pun harus ‘putar otak’, agar petani tetap menjual dan memasok kelapa sawitnya ke pabrik ini. Mulai dari tawaran harga yang relatif lebih tinggi, hingga memberikan pelayanan ekstra secara langsung kepada petani pun mereka dilakukan.

Waktu sudah hampir pukul 12.00 WIB, saat HORTUS Archipelago memasuki pelataran tempat pengolahan kelapa sawit di Kecamatan Sei Bahar, Muaro Jambi, Jambi. Puluhan truk dengan muatan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, tampak antri berjajar di sepanjang jalan masuk ke pabrik kelapa sawit (PKS) milik PTPN VI ini.

Antrian Truk Pengangkut TBS
“Mereka adalah truk pengangkut TBS petani. Mereka tengah antre untuk menurunkan muatannya masing-masing di sini,” ujar Arief Kurniawan, staf Humas PTPN VI yang mendampingi kami saat kunjungan ke PKS PSB I ini.

Memasuki kantor manajemen PKS PSB I, kami pun langsung disambut oleh Rustam Endy, sang Manejer pabrik dan dipersilahkan duduk ‘lesehan’ di sudut ruangan yang nampaknya memang diasiapkan untuk menerima tamu yang berkunjung ke tempat itu.      

Rustam pun lantas menceritakan mengenai lika-liku perjalanan PSB I. Pabrik pengolahan kelapa sawit yang resmi beroprasi sekitar tahun 1991 dan merupakan salah satu  PKS pertama yang ada di Jambi. Kapasitas produksi pabrik ini sebesar 60 ton per jam, dengan hasil minyak sawit mentah (CPO) sekitar 19% dan kernel sekitar 5%. PSI I merupakan pabrik pengolahan kelapa sawit yang 100% bahan baku kelapa sawitnya berasal dari kebun petani plasma binaan PTPN VI dan petani-petani kelapa sawit swadaya di wilayah Sei Bahar ini.

Menurut dia, dari segi ketersedian bahan baku kelapa sawit, hasil dari kebun petani di wilayah Sei Bahar, sebanarnya sangat berlimpah. Karena perkebunan petani binaan PTPN VI saja, luasnya mencapai 22 ribu hektar yang dikelola olah 11 ribu kepala keluarga (KK) dengan produksi 2 - 3 ton TBS per bulan per kapling. Belum lagi petani swadaya, yang diperkirakan luas perkebunannya bisa mencapai dua kali lipat.    

Yang menjadi permasalahan, lanjutnya, justru PSB I harus berhadapan dan bersaing dengan pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit swasta yang banyak berdiri di wilayah ini. Karenanya, agar pasokan bahan baku tetap tersedia, manajemen pun harus melakukan pembinaan dan pelayanan secara langsung kepada para petani, agar mereka tetap bersedia membawa kelapa sawitnya ke pabrik ini. Termasuk juga menawarkan harga pembelian yang lebih menarik bagi mereka. Karena bukan tidak mungkin, para petani tersebut menjual kelapa sawitnya ke pabrik pengolahan milik swasta.

“Ini yang banyak terjadi di sini. Bukan hanya petani swadaya, bahkan petani plasma yang menjadi binaan PTPN VI pun banyak pula yang menjual kelapa sawitnya ke pihak lain,” jelas Rustam, yang baru sekitar satu bulan ini menempati posisinya sebagai Manejer PSB I.

Para Pekerja Tengah Menurunkan TBS dari Truk
Selama ini, produksi kelapa sawit dari kebun petani plasma binaan PTPN VI, ditampung oleh 22 Koperasi Unit Desa (KUD). Tapi ironisnya, dari 22 KUD tersebut, hanya 5 KUD  saja yang masih berkomitmen menjual kelapa sawitnya kepada PSB I. Sementara sisanya, lebih senang menjual kelapa sawit mereka ke pabrik-pabrik lain.

Meski demikian, pasokan kelapa sawit dari 5 KUD tersebut, masih sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional pabrik. Karena total pasokan kelapa sawit dari ke-5 KUD tersebut mencapai 850 ton per hari. “Belum lagi ditambah pasokan dari petani swadaya ataupun petani plasma yang tidak melalui KUD,  jumlahnya sangat cukup. Bahkan terkadang berlimpah,” tambah Nababan, petugas  pembelian TBS petani yang ditugaskan oleh PTPN VI di PSB I yang juga hadir menemani kami.

Masih adanya KUD dan petani yang tetap berkomitmen untuk menjual kelapa sawitnya kepada PSB I, menurut Rustam dan Nababan, tak lepas dari pelayanan dan penawaran harga yang diberikan oleh manajemen. Untuk harga TBS misalnya, pihak manajemen bahkan berani membeli dengan harga rugi atau harga yang lebih tinggi dari harga pasaran. “Kalau memang terpaksa, harga rugi pun kami beli, demi jaminan pasokan,” tandas Nababan.

Sementara untuk pelayanan, pihak manajemen bahkan telah membeli mesin gredel, yaitu alat untuk membuat dan meratakan jalan. Bukan cuma alatnya yang disedikan, petugas dari PSB I juga akan turun langsung ke lapangan jika ada petani yang mengaku kesulitan mengangkut kelapa sawitnya karena kondisi jalan di sekitar kebun yang rusak.

“Kami akan langsung kirimkan orang untuk bekerja memperbaiki jalan-jalan nyang rusak tersebut. Termasuk juga memperbaiki jembatan, jika ada yang rusak,” ucap Rustam. Ini, menurutnya, dilakukan semata untuk membangun hubungan yang baik dengan para petani, sehingga ada rasa keterikatan antara petani dan PSB I.

Sertifikat Biru
Sebagai pabrik pengolahan kelapa sawit, PSB I tentu juga tak lepas dari persoalan limbah. Baik limbah cair, maupun limbah padat, berupa tandan kosong (Tangkos) ataupun bungkil, batok dan serabut (fiber) kelapa sawit yang dihasilkan dari proses pengolahan kelapa sawit. Namun, ini sepertinya juga bukan merupakan persoalan serius bagi PSB I.

Pengolahan Limbah Cair
Bahkan untuk pengelolaan limbah cair, PSB I telah mendapatkan Sertifikat Biru dari Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Proper) dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk periode 2010 – 2011. Karena pengelolaan limbah cair yang dilaksanakan oleh PSB I melalui Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL), telah mencapai tingkat baku mutu KLH 100%.

Selain dilakukan pemurnian melalui IPAL, limbah cair yang dihasilkan dari proses pengolahan kelapa sawit di PSB I, sebanyak 35%-nya digunakan untuk proses composting dari Tangkos, yang selanjutnya akan digunakan sebagai pupuk alami di kebun sawit inti.

“Jadi bisa dibilang, pengelolaan limbah di sini sangat ramah lingkungan. Karena mulai dari limbah cair, Tangkos, dan serabut kelapa sawit, kami oleh kembali untuk dijadikan sebagai pupuk alamai yang akan digunakan untuk pemupukan di kebun kelapa sawit kami,” ujar Rustam menutup penjelasannya.

Memang, tangkos-tangkos hasil proses pengolahan di pabrik, tampak ditempatkan secara khusus di sebuah areal yang di tengah-tengahnya terdapat parit-parit berisi air. Di tempat ini, tangkos-tangkos tersebut akan diproses menjadi kompos dengan dibiarkan selama 65 hari dan secara kontinyu disiram dengan air (limbah cair) yang ada di parit, sehingga membusuk dan menjadi pupuk alami. Sementara bungkil serabut kelapa sawit, diangkut ke lokasi Integrasi Sawit Sapi (ISS) milik PTPN VI.
Tandan Kosong Sisa Pengolahan Siap Dibuat Kompos

Bungkil akan diolah dan dicampur dengan bahan-bahan lain untuk dijadikan pakan sapi. Sementara serabut kelapa sawit, akan ditempatkan di lantai kandang sapi, yang selanjutnya akan dibiarkan selama tiga bulan, sehingga secara alami bercampur dengan kotoran dan air seni sapi. Campuran serabut kelapa sawit, kotoran dan air seni sapi ini ternyata menghasilkan pupuk alami yang sangat bagus untuk pohon kelapa sawit.

Saking asyiknya mendengar keterangan sambil melihat-lihat sekitar lokasi pabrik, tanpa sadar ternyata hari sudah menjelang sore. Padahal pesawat yang akan terbang membawa kami ke Jakarta, take off pada pukul 18.10 WIB. Maka kami pun mengakhiri kunjungan ke pabrik pengolahan kelapa sawit itu.

Setelah berpamitan, maka dengan masih ditemani oleh staf humas PTPN VI, kami pun bergegas menuju Kota Jambi untuk selanjutnya ke Bandara Sultan Tahha untuk terbang kembali ke Jakarta. Sungguh pengalaman dan kenangan tak terlupakan yang kami dapatkan hari itu. ***

Kamis, 22 November 2012

'Melongok' Cara PTPN VI Mengintegrasikan Kebun Sawit dan Ternak Sapi



Peternakan Sapi PTPN VI melalui program Integrasi Sawit Sapi
MENGINTEGRASIKAN peternakan sapi dalam areal kebun sawit, mungkin semua perusahaan perkebunan kelapa sawit bisa melakukannya. Tapi mengoptimalkan pemanfaatan integrasi tersebut, belum tentu semua bisa melakukannya. 

Apalagi sampai menciptakan formulasi pakan sapi yang mampu menekan biaya hingga 70% dan menghasilkan pupuk organik dari kotoran sapi kualitas tinggi, tentu lebih sulit lagi.

Adalah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI (Persero) Jambi, yang berhasil mengoptimalkan pengintergrasian peternakan sapi dalam kebun kelapa sawitnya. Melalui program yang diberinama Integrasi Sapi Sawit (ISS) ini, BUMN Perkebunan ini bukan hanya berhasil melakukan penggemukan dan pembiakan sapi-sapinya –dengan formula pakan yang diciptakan sendiri, tapi juga berhasil mengoptimalkan pemanfaatan kotoran sapi menjadi pupuk organik bernilai tinggi yang sangat baik untuk pohon kelapa sawit.

“Ini yang kami sebut menciptakan ekosistem. Karena sumber pakan sapi diambil dari pohon sawit, dan selanjutnya kotoran sapi yang telah terbentuk menjadi kompos secara alami, dikembalikan lagi sebagai pupuk tanaman sawit,” urai Iskandar Sulaiman, Dirut PTPN VI saat ditemui HORTUS Archipelago di kantornya, di Jambi.

Dengan demikian, program peternakan sapi di tengah areal perkebunan kelapa sawit ini benar-benar bisa dimanfaatkan secara optimal oleh perseroan. Karena di satu sisi, kebutuhan pakan sapi dapat dipenuhi dengan sumber-sumber yang diambil dari sawit, sementara di sisi lain, kebutuhan tanaman sawit akan pupuk juga dapat dipenuhi dari air seni dan kotoran sapi yang telah direkayasa secara organik.

Program integrasi sawit sapi yang dilaksanakan oleh PTPN VI, bisa dibilang tergolong baru. Karena programnya sendiri baru dicetuskan saat Menteri BUMN Dahlan Iskan menghadiri peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2012 pada awal Februari lalu di Jambi. Gagasannya, karena dia prihatin dengan kondisi Indonesia yang sangat tergantung dengan daging sapi impor, khususnya dari Australia.

Menteri BUMN Dahlan Iskan saat meninjau sapi-sapi PTPN V
Karenanya, untuk mengurangi ketergantungan impor dan mencapai swasembada daging pada tahun 2014, Dahlan mengusulkan agar dilaksanakan program integrasi peternakan sapi dan kebun kelapa sawit, oleh seluruh BUMN Perkebunan yang mengelola kebun kelapa sawit. Dan PTPN VI, yang mengelola areal perkebunan kelapa sawit dengan luas 23.625,51 hektar mendapat tugas untuk mengelola 10.000 ekor sapi di dalam area perkebunannya. Penugasan itu tertuang dalam Surat Meneg BUMN No.S.240/MBU/2012 tertanggal 9 Mei 2012.

Mendapat “tugas negara” seperti ini, menurut Iskandar Sulaiman, bukanlah perkara yang mudah. Apalagi, sebagai BUMN Perkebunan, manajemen PTPN VI tentu saja tidak mempunyai pengalaman dalam urusan mengurus sapi. Karenanya, untuk membantu kelancaran program ISS ini, pihaknya pun mendatang ahli-ahli peternakan dari instansi lain. 

Untuk urusan penggemukan dan pakan misalnya, didatangkan ahli peternakan dari Dinas Peternakan, pakar petenakan dari Universitas Jambi (Unja), dan Loka Penelitian Sapi Potong (Lolitsapi) Grati. Sementara untuk urusan pembuatan pupuk organik dari kotoran sapi, bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan.

Dan hasilnya, setelah sekitar 9 bulan pelaksanaan program ISS tersebut, bukan hanya dihasilkan formulasi pakan sapi yang mampu memangkas biaya pakan hingga mencapai 70%, tapi juga pupuk organik dari kotoran sapi yang memiliki nilai jual tinggi.

“Ini tentu suatu terobosan yang sangat menggembirakan. Karena formulasi pakan yang kami hasilkan, mampu meningkatkan penggemukan sapi hingga mencapai 1 kg per hari. Di samping itu, juga menghasilkan pupuk organik yang punya nilai jual tinggi dan sangat baik untuk diaplikasikan di tanaman sawit,” papar Iskandar.

Sistem Kandang Koloni
Saat pertama kali memulai program ISS ini, PTPN VI membeli sebanyak 50 ekor indukan dari ras sapi Bali. Tapi sampai saat ini, setidaknya sudah ada 2.000 ekor dari jenis sapi Bali dan Peranakan Ongole (PO) yang dipelihara oleh perusahaan. Bahkan hingga akhir tahun 2012, ditargetkan sedikitnya ada 3.000 ekor sapi yang dikelola di lokasi ini.

30 ekor sapi ditempatkan dalam satu kandang secara koloni 
 Memanfaatkan bangunan bekas pabrik pengolahan karet (CRF) dengan luas sekitar 9,2 hektar di Desa Sebo, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi (sekitar 60 km dari kota Jambi), sapi-sapi tersebut dipelihara secara intensif dengan sistem kandang koloni. Dimana tiap kandang, berukuran 90 m2 ditempatkan 30 ekor sapi, dengan perhitungan 3 m2 untuk tiap 1 ekor sapi. Sehingga walapun tidak digembalakan, sapi-sapi tersebut dapat bergerak bebas.

Dan untuk urusan pakan, menurut dia, pada umumnya sama seperti yang diaplikasikan oleh peternakan sapi lain yang terintegrasi dengan kebun sawit. Antara lain, pelepah sawit dan bungkil inti sawit. Untuk pelepah sawit, diambil dari kebun unit Batang Hari yang jaraknya hanya sekitar 3 km dari lokasi kandang.
Pelepah dan bungkil inti sawit tersebut, selanjutnya dicampur dengan bahan-bahan lain, seperti onggok sisa penggilingan tapioka, dedak hasil penggilingan padi, tetes tebu (molases) dan garam. 

“Tapi selain bahan-bahan pakan itu, kami juga menggunakan campuran lain sebagai sumber nutrisinya. Dan bahan tambahan ini yang belum tentu orang lain tahu,” tambah Irvan S.T, Kapala Urusan Perencanaan dan Analisa Proyek PTPN VI, tanpa bersedia menyebutkan apa sumber nutrisi tambahan tersebut.

Pakan untuk sapi yang dirancang sendiri oleh Tim Ahli
Dia hanya mengakui, untuk pakan sapi ini, setidaknya telah dihasilkan 4 formulasi yang berbeda. Dimana pada formulasi terakhir (keempat), ditargetkan mampu meningkatkan bobot per ekor sapi hingga mencapai 1 kg per hari. “Formulasi ini memang masih dalam tahap penelitian oleh tim kami. Tapi sambil berjalan, formula ini juga sudah mulai diberikan pada sapi-sapi kami,” tambah pria yang setia mendampingi HORTUS selama berkunjung ke areal peternakan.

Menurut dia, pada formulasi sebelumnya atau yang ketiga, telah terbukti mampu menghasilkan pertumbuhan bobot sapi hingga mencapai 0,8 kg per hari.

Formulasi Pakan
No
Bahan Pakan
Komposisi
(%)
Komposisi Ideal
(%)
1
Cacahan Pelepah Sawit
60
Dalam tahap
pengujian
2
Bungkil Inti Sawit
25
3
Onggok/Ampas Bihun
8
4
Dedak Padi
5
5
Molases
1
6
Garam
1
Sumber: ISS PTPN IV

Memanfaatkan Sabut Kelapa Sawit
Untuk menghasilkan pupuk organik dari kotoran sapi yang bernilai jual tinggi dan bermanfaat untuk tanaman sawit, pun PTPN VI punya trik sendiri. Yaitu dengan memanfaatkan sabut atau fiber kelapa sawit sisa proses pemerasan minyak sawit.

Sabut-sabut kelapa sawit tersebut ditempatkan di lantai kandang, sehingga dengan sendirinya akan bercampur dengan kotoran dan air seni sapi. Selanjutnta proses pembuatan kompos secara alami itu di dibiarkan selama 3 bulan. Setelah itu, barulah kotoran dibersihkan dan langsung bisa digunakan sebagai pupuk untuk pohon induk sawit.

Iskandar menuturkan, filosofi pembuatan pupuk organik secara alami itu didasarkan pertimbangan dan pengalaman kandang-kandang sapi masyarakat. Dimana kotoran sapi, air seni dan rumput sisa-sisa pakanya bercampur secara alami dalam kandang.

“Karena pertimbangan itulah, makanya kami tidak membersihkan kandang selama 3 bulan, sehingga terjadi percampuran kompos secara alami. Dan ternyata, selain menghasilkan pukuk organik yang bagus, sistem ini juga sangat efisien dalam pemakaian tenaga kerja. Karena cukup dengan satu orang pekerja, dapat mengurus dan mengawasi antara 100 hingga 150 ekor sapi,” papar Iskandar.

Pemanfaatan fiber kelapa sawit ini, selain mampu menghasilkan pupuk organik yang sangat berkualitas, ternyata juga membuat kondisi kandang termenjadi tidak berbau, layaknya kandang-kandang sapi sejenis. Bahkan bisa dibilang, lalat pun tidak banyak berada di areal kandang.

Penempatan sabut kelapa sawit sebagai dasar lantai kandang 
Untuk ini, pihak pengelola yang dikomandani oleh Musahar sebagai Manager, mendesain beberapa bagian atap kandang dengan menggunakan fiberglass, sehingga sinar matahari bisa langsung masuk ke dalam kandang. Selain itu, sekeliling kandang juga dibiarkan terbuka, sehingga menghasilkan sirkulasi udara yang baik. Penggunaan atap fiberglass dan sistem kandang terbuka ini membuat lantai kandang—yang menjadi tempat proses alami pupuk organik, tetap kering.

Namun demikian, untuk mengawasi kesehatan sapi-sapi tersebut, PTPN VI juga menepatkan 2 orang tenaga kesehatan (dokter hewan), yang merupakan petugas kesehatan hewan dari Dinas Peternakan Muaro Jambi dan staf perusahaan sendiri.

Bahkan di lokasi ini juga terdapat “klinik” sapi, yang memang dikhususkan menjadi tempat rehabilitasi bagi sapi-sapi yang mengalami gangguan kesehatan. “Kalau ada sapi yang kurang sehat atau mengalami kecelakaan karena berkelahi, maka kami rehabilitasi ditempat itu sehingga tidak mengganggu sapi-sapi lain,” tutur Musahar.

Sapi-sapi h hasil program penggemukan melalui program ISS yang dilakukan oleh PTPN VI ini, pemasarannya pun ternyata tidak sulit. Karena pada Idul Adha yang baru lalu, perseroan berhasil menjual sebanyak 200 ekor  kepada masyarakat. Bahkan ada pedagang dari Batam yang memborong sebanyak 50 ekor untuk dibawa dan dipasarkan di wilayah itu.

Karenanya, menurut Iskandar, dalam memasarkan sapi-sapi hasil penggemukan di ISS ini, selain untuk kebutuhan di wilayah Jambi sendiri, pihaknya juga berencana memasarkannya ke wilayah Riau Kepulauan  khususnya  Batam.***