Kamis, 22 November 2012

'Melongok' Cara PTPN VI Mengintegrasikan Kebun Sawit dan Ternak Sapi



Peternakan Sapi PTPN VI melalui program Integrasi Sawit Sapi
MENGINTEGRASIKAN peternakan sapi dalam areal kebun sawit, mungkin semua perusahaan perkebunan kelapa sawit bisa melakukannya. Tapi mengoptimalkan pemanfaatan integrasi tersebut, belum tentu semua bisa melakukannya. 

Apalagi sampai menciptakan formulasi pakan sapi yang mampu menekan biaya hingga 70% dan menghasilkan pupuk organik dari kotoran sapi kualitas tinggi, tentu lebih sulit lagi.

Adalah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI (Persero) Jambi, yang berhasil mengoptimalkan pengintergrasian peternakan sapi dalam kebun kelapa sawitnya. Melalui program yang diberinama Integrasi Sapi Sawit (ISS) ini, BUMN Perkebunan ini bukan hanya berhasil melakukan penggemukan dan pembiakan sapi-sapinya –dengan formula pakan yang diciptakan sendiri, tapi juga berhasil mengoptimalkan pemanfaatan kotoran sapi menjadi pupuk organik bernilai tinggi yang sangat baik untuk pohon kelapa sawit.

“Ini yang kami sebut menciptakan ekosistem. Karena sumber pakan sapi diambil dari pohon sawit, dan selanjutnya kotoran sapi yang telah terbentuk menjadi kompos secara alami, dikembalikan lagi sebagai pupuk tanaman sawit,” urai Iskandar Sulaiman, Dirut PTPN VI saat ditemui HORTUS Archipelago di kantornya, di Jambi.

Dengan demikian, program peternakan sapi di tengah areal perkebunan kelapa sawit ini benar-benar bisa dimanfaatkan secara optimal oleh perseroan. Karena di satu sisi, kebutuhan pakan sapi dapat dipenuhi dengan sumber-sumber yang diambil dari sawit, sementara di sisi lain, kebutuhan tanaman sawit akan pupuk juga dapat dipenuhi dari air seni dan kotoran sapi yang telah direkayasa secara organik.

Program integrasi sawit sapi yang dilaksanakan oleh PTPN VI, bisa dibilang tergolong baru. Karena programnya sendiri baru dicetuskan saat Menteri BUMN Dahlan Iskan menghadiri peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2012 pada awal Februari lalu di Jambi. Gagasannya, karena dia prihatin dengan kondisi Indonesia yang sangat tergantung dengan daging sapi impor, khususnya dari Australia.

Menteri BUMN Dahlan Iskan saat meninjau sapi-sapi PTPN V
Karenanya, untuk mengurangi ketergantungan impor dan mencapai swasembada daging pada tahun 2014, Dahlan mengusulkan agar dilaksanakan program integrasi peternakan sapi dan kebun kelapa sawit, oleh seluruh BUMN Perkebunan yang mengelola kebun kelapa sawit. Dan PTPN VI, yang mengelola areal perkebunan kelapa sawit dengan luas 23.625,51 hektar mendapat tugas untuk mengelola 10.000 ekor sapi di dalam area perkebunannya. Penugasan itu tertuang dalam Surat Meneg BUMN No.S.240/MBU/2012 tertanggal 9 Mei 2012.

Mendapat “tugas negara” seperti ini, menurut Iskandar Sulaiman, bukanlah perkara yang mudah. Apalagi, sebagai BUMN Perkebunan, manajemen PTPN VI tentu saja tidak mempunyai pengalaman dalam urusan mengurus sapi. Karenanya, untuk membantu kelancaran program ISS ini, pihaknya pun mendatang ahli-ahli peternakan dari instansi lain. 

Untuk urusan penggemukan dan pakan misalnya, didatangkan ahli peternakan dari Dinas Peternakan, pakar petenakan dari Universitas Jambi (Unja), dan Loka Penelitian Sapi Potong (Lolitsapi) Grati. Sementara untuk urusan pembuatan pupuk organik dari kotoran sapi, bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan.

Dan hasilnya, setelah sekitar 9 bulan pelaksanaan program ISS tersebut, bukan hanya dihasilkan formulasi pakan sapi yang mampu memangkas biaya pakan hingga mencapai 70%, tapi juga pupuk organik dari kotoran sapi yang memiliki nilai jual tinggi.

“Ini tentu suatu terobosan yang sangat menggembirakan. Karena formulasi pakan yang kami hasilkan, mampu meningkatkan penggemukan sapi hingga mencapai 1 kg per hari. Di samping itu, juga menghasilkan pupuk organik yang punya nilai jual tinggi dan sangat baik untuk diaplikasikan di tanaman sawit,” papar Iskandar.

Sistem Kandang Koloni
Saat pertama kali memulai program ISS ini, PTPN VI membeli sebanyak 50 ekor indukan dari ras sapi Bali. Tapi sampai saat ini, setidaknya sudah ada 2.000 ekor dari jenis sapi Bali dan Peranakan Ongole (PO) yang dipelihara oleh perusahaan. Bahkan hingga akhir tahun 2012, ditargetkan sedikitnya ada 3.000 ekor sapi yang dikelola di lokasi ini.

30 ekor sapi ditempatkan dalam satu kandang secara koloni 
 Memanfaatkan bangunan bekas pabrik pengolahan karet (CRF) dengan luas sekitar 9,2 hektar di Desa Sebo, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi (sekitar 60 km dari kota Jambi), sapi-sapi tersebut dipelihara secara intensif dengan sistem kandang koloni. Dimana tiap kandang, berukuran 90 m2 ditempatkan 30 ekor sapi, dengan perhitungan 3 m2 untuk tiap 1 ekor sapi. Sehingga walapun tidak digembalakan, sapi-sapi tersebut dapat bergerak bebas.

Dan untuk urusan pakan, menurut dia, pada umumnya sama seperti yang diaplikasikan oleh peternakan sapi lain yang terintegrasi dengan kebun sawit. Antara lain, pelepah sawit dan bungkil inti sawit. Untuk pelepah sawit, diambil dari kebun unit Batang Hari yang jaraknya hanya sekitar 3 km dari lokasi kandang.
Pelepah dan bungkil inti sawit tersebut, selanjutnya dicampur dengan bahan-bahan lain, seperti onggok sisa penggilingan tapioka, dedak hasil penggilingan padi, tetes tebu (molases) dan garam. 

“Tapi selain bahan-bahan pakan itu, kami juga menggunakan campuran lain sebagai sumber nutrisinya. Dan bahan tambahan ini yang belum tentu orang lain tahu,” tambah Irvan S.T, Kapala Urusan Perencanaan dan Analisa Proyek PTPN VI, tanpa bersedia menyebutkan apa sumber nutrisi tambahan tersebut.

Pakan untuk sapi yang dirancang sendiri oleh Tim Ahli
Dia hanya mengakui, untuk pakan sapi ini, setidaknya telah dihasilkan 4 formulasi yang berbeda. Dimana pada formulasi terakhir (keempat), ditargetkan mampu meningkatkan bobot per ekor sapi hingga mencapai 1 kg per hari. “Formulasi ini memang masih dalam tahap penelitian oleh tim kami. Tapi sambil berjalan, formula ini juga sudah mulai diberikan pada sapi-sapi kami,” tambah pria yang setia mendampingi HORTUS selama berkunjung ke areal peternakan.

Menurut dia, pada formulasi sebelumnya atau yang ketiga, telah terbukti mampu menghasilkan pertumbuhan bobot sapi hingga mencapai 0,8 kg per hari.

Formulasi Pakan
No
Bahan Pakan
Komposisi
(%)
Komposisi Ideal
(%)
1
Cacahan Pelepah Sawit
60
Dalam tahap
pengujian
2
Bungkil Inti Sawit
25
3
Onggok/Ampas Bihun
8
4
Dedak Padi
5
5
Molases
1
6
Garam
1
Sumber: ISS PTPN IV

Memanfaatkan Sabut Kelapa Sawit
Untuk menghasilkan pupuk organik dari kotoran sapi yang bernilai jual tinggi dan bermanfaat untuk tanaman sawit, pun PTPN VI punya trik sendiri. Yaitu dengan memanfaatkan sabut atau fiber kelapa sawit sisa proses pemerasan minyak sawit.

Sabut-sabut kelapa sawit tersebut ditempatkan di lantai kandang, sehingga dengan sendirinya akan bercampur dengan kotoran dan air seni sapi. Selanjutnta proses pembuatan kompos secara alami itu di dibiarkan selama 3 bulan. Setelah itu, barulah kotoran dibersihkan dan langsung bisa digunakan sebagai pupuk untuk pohon induk sawit.

Iskandar menuturkan, filosofi pembuatan pupuk organik secara alami itu didasarkan pertimbangan dan pengalaman kandang-kandang sapi masyarakat. Dimana kotoran sapi, air seni dan rumput sisa-sisa pakanya bercampur secara alami dalam kandang.

“Karena pertimbangan itulah, makanya kami tidak membersihkan kandang selama 3 bulan, sehingga terjadi percampuran kompos secara alami. Dan ternyata, selain menghasilkan pukuk organik yang bagus, sistem ini juga sangat efisien dalam pemakaian tenaga kerja. Karena cukup dengan satu orang pekerja, dapat mengurus dan mengawasi antara 100 hingga 150 ekor sapi,” papar Iskandar.

Pemanfaatan fiber kelapa sawit ini, selain mampu menghasilkan pupuk organik yang sangat berkualitas, ternyata juga membuat kondisi kandang termenjadi tidak berbau, layaknya kandang-kandang sapi sejenis. Bahkan bisa dibilang, lalat pun tidak banyak berada di areal kandang.

Penempatan sabut kelapa sawit sebagai dasar lantai kandang 
Untuk ini, pihak pengelola yang dikomandani oleh Musahar sebagai Manager, mendesain beberapa bagian atap kandang dengan menggunakan fiberglass, sehingga sinar matahari bisa langsung masuk ke dalam kandang. Selain itu, sekeliling kandang juga dibiarkan terbuka, sehingga menghasilkan sirkulasi udara yang baik. Penggunaan atap fiberglass dan sistem kandang terbuka ini membuat lantai kandang—yang menjadi tempat proses alami pupuk organik, tetap kering.

Namun demikian, untuk mengawasi kesehatan sapi-sapi tersebut, PTPN VI juga menepatkan 2 orang tenaga kesehatan (dokter hewan), yang merupakan petugas kesehatan hewan dari Dinas Peternakan Muaro Jambi dan staf perusahaan sendiri.

Bahkan di lokasi ini juga terdapat “klinik” sapi, yang memang dikhususkan menjadi tempat rehabilitasi bagi sapi-sapi yang mengalami gangguan kesehatan. “Kalau ada sapi yang kurang sehat atau mengalami kecelakaan karena berkelahi, maka kami rehabilitasi ditempat itu sehingga tidak mengganggu sapi-sapi lain,” tutur Musahar.

Sapi-sapi h hasil program penggemukan melalui program ISS yang dilakukan oleh PTPN VI ini, pemasarannya pun ternyata tidak sulit. Karena pada Idul Adha yang baru lalu, perseroan berhasil menjual sebanyak 200 ekor  kepada masyarakat. Bahkan ada pedagang dari Batam yang memborong sebanyak 50 ekor untuk dibawa dan dipasarkan di wilayah itu.

Karenanya, menurut Iskandar, dalam memasarkan sapi-sapi hasil penggemukan di ISS ini, selain untuk kebutuhan di wilayah Jambi sendiri, pihaknya juga berencana memasarkannya ke wilayah Riau Kepulauan  khususnya  Batam.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar