Jumat, 16 November 2012

Sawit Lestari

Mengintegrasikan Kebun Sawit 
dan Peternakan Sapi

HAMPARAN perkebunan kelapa sawit nan luas, sejatinya sangat potensial untuk disinergikan dengan usaha atau bisnis lain. Mulai dari wisata agro, wisata berburu hingga wisata pendidikan. Bahkan, areal perkebunan sawit juga sangat potensial jika diintegrasikan dengan peternakan sapi. Limbah sawit, seperti solid, pelepah dan bungkilnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi, dan sebaliknya kotoran sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk pohon kelapa sawit.

Adalah PT Citra Borneo Indah (CBI) Grup, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah secara serius mengembangkan bisnis peternakan dan pembiakan sapi atau breending di tengah perkebunan kelapa sawitnya.

Sapi yang dilepasliarkan
di areal kebun sawit
Melalui anak usahanya, yaitu PT Sulung Ranch, CBI secara khusus mengelola bisnis peternakan sapi di kebun sawitnya di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (Kalteng). Dari 90.094 hektar areal perkebunan kelapa sawit yang dimikiki CBI di wilayah itu, 30 hektar dikhususkan untuk pembangunan peternakan sapi, yang disebut dengan istilah Siska atau Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit.

Bahkan bisnis peternakan sapi di tengah kebun sawit yang dikelola Sulung Ranch ini tergolong serius. Sebab selain mengelola sendiri peternakan sapinya, perusahaan ini juga menjalin kerjasama dengan berbagai mitra bisnis. Bahkan 2 perusahaan sapi asal negeri Kanguru, Australia, yaitu Wellard dan Austrex  juga telah menyatakan minatnya untuk bekerjasama dengan perusahaan ini.

Pada tahap awal, total sapi yang dipelihara di peternakan ini mencapai sekitar 600 ekor. Tapi dalam 5 tahun ke depan, Sulung Ranch menargetkan bisa memiliki sapi dalam jumlah ribuan ekor.


“Sapi-sapi ini dipelihara dan dikembangbiakkan oleh tenaga-tenaga ahli peternakan yang sengaja saya datangkan dari luar Kalimantan. Bahkan untuk menjaga kesehatannya, kami  juga mendatangkan seorang dokter hewan yang tugasnya khusus mengontrol pertumbuhan sapi-sapi itu,” Abdul Rasyid, “si empunya”  CBI Grup yang merupakan anggota MPR RI dari Utusan Daerah pada priode 1992-1997, dalam sebuah kesempatan.

Berguru ke Australia

Sebagai pengusaha perkebunan kelapa sawit yang asli putra daerah, Abdul Rasyid memang sangat serius dalam mengembangkan peternakan sapi di areal perkebunan sawit. Ini menurutnya,  didorong keinginan untuk membantu mengurangi ketergantungan terhadap daging-daging sapi impor.


Seorang pekerja tengah memberi
makan sapi di kebun 
Bahkan, saking seriusnya, Rasyid pun tak segan-segan memboyong anak buahnya untuk melakukan studi banding ke peternakan sapi di Australia. Di negeri Kanguru itu, mereka belajar bagaimana cara mengembangbiakan sapi, sehingga dapat menghasilkan kualitas sapi standar impor. Tak sekedar studi banding, Rasyid pun memboyong bibit-bibit sapi unggul dari Australia.

“Kami mengambil sapi hamil dari Australia, sehingga membeli satu ekor maka bisa mendapatkan 3 ekor atau istilahnya buy one get three”, terang Rasyid. Selanjutnya, sapi-sapi asal Australia itu dikawinkan dengan sapi pejantan dari Bali, sehingga menghasilkan produk campuran.

“Ke depan kami menargetkan dapat meningkatkan jumlah sapi hingga 1.200 ekor. Tapi juga tidak tertutup kemungkinan untuk terus berkembang ke angka yang lebih besar,” tambah Rasyid.

Kurang Diminati Investor

Dari kajian yang dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah sebagiamanperti ditulis oleh Bambang Ngaji Utomo dan Ermin Widjaja menyebutkan, kegiatan pembibitan sapi potong nampaknya memang kurang diminati oleh para investor.

Hal ini disebabkan, peternakan sapi m dierupakan salah satu bisnis yang padat modal. Sebab pada umumnya, usaha peternakan sapi bersifat pembiakan untuk menghasilkan anak sapi (pedet), yang biaya untuk pakannya sendiri bisa jauh lebih mahal dari harga pedet itu sendiri.

Sapi-sapi tengah istirahat
usai mencari makan

Dengan biaya pakan mencapai Rp. 4000/hari/ekor dan rata-rata jarak beranak sekitar 600 hari, maka untuk menghasilkan 1 ekor pedet dibutuhkan biaya pakan sebesar Rp2.400.000. Sementara harga pedet per ekor hanya sekitar Rp1.500.000. Dengan demikian biaya pakan untuk menghasilkan 1 ekor pedet lebih mahal daripada harga pedet itu sendiri.

Oleh karena itu, agar usaha pembibitan sapi potong tersebut memberikan keuntungan, maka harus dilakukan melalui pendekatan secara terintegrasi. Sebab, hal ini berkaitan dengan upaya menekan biaya pakan yang mencapai 60 hingga 70% dari total biaya produksi. Yaitu melalui pemanfaatan secara optimal sumberdaya lokal berupa vegetasi atau limbah pertanian sebagai sumber pakan.

Dan ini telah dibuktikan di peternakan Sulung Ranch, yaitu dengan pendekatan secara terintegrasi sehingga biaya pakan bisa ditekan hingga 54,36%. Karena pakan selain berasal dari rumput, yang dikembangkan dengan pola gembala (grazing), juga berasal dari hijauan makanan ternak yang ada diantara tanaman kelapa sawit. Sedangkan sebagai pakan tambahan (konsentrat), dapat diperolah dari solid sawit limbah PKS yang lokasinya tidak begitu jauh dari peternakan, yaitu sekitar 3 km.

Keuntungan lebih bisa ditingkatkan lagi manakala jarak beranak, sebagaimana yang dikerjakan di Sulung Ranch lebih pendek lagi, yaitu hanya 13 bulan (395 hari). Karena
untuk mendapatkan 1 ekor pedet, hanya dibutuhkan biaya Rp452.275.

Dalam kesimpulannya, Bambang dan Ermin menyebutkan, kunci keberhasilan pembibitan sapi potong yang dilakukan Sulung Ranch, adalah ketersediaan sumber pakan ternak yang berupa hijauan makanan ternak (HMT). Baik yang dibudidayakan, maupun yang diperoleh dari area kebun kelapa sawit, dan pakan tambahan dari limbah pabrik kelapa sawit, sangat mencukupi.

Selain itu, pembibitan sapi yang dipadukan dengan perkebunan kelapa sawit juga mampu mengurangi biaya pakan hingga hanya menjadi Rp1.145/ekor/hari, dan terjadi efisiensi harga rumput sebesar 54,4%, dengan efisiensi total biaya pakan yang dikeluarkan adalah 54,36%. Dengan demikian, pembibitan sapi potong yang dilakukan secara terintegrasi dengan kelapa sawit sangat menguntungkan, jika dilihat dari biaya pakan dan harga pedet.

Kondisi sapi yang gemuk karena cukup makanan
Karenanya, Bambang dan Ermin berpendapat, pola pembangunan peternakan yang dilakukan oleh CBI ini perlu ditiru oleh perusahaan swasta lainnya. Karena, selain menguntungkan, pola ini juga dapat menjadi contoh pelestarian plasma nutfah sapi Bali, dan sekaligus sebagai salah satu sumber penghasil daging sapi.

Dan yang juga menjadi pertimbangan penting, pengembangan peternakan sapi di dalam areal perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi potensi konflik horizontal, antara pihak perusahaan dengan masyarakat di sekitarnya. Karena masyarakat ikut diberdayakan melalui usaha pemeliharaan sapi-sapi tersebut. ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar