Perlu Sinkronisasi
Kebiajakan di Kemenhut
Persoalan kebijakan di Kementerian Kehutanan (Kemenhut), sepertinya
menjadi prioritas yang harus segera dibenahi ke depan. Dan ketidaksinkronan kebijakan
antarsektor, merupakan peroalan utama yang dirasakan paling mengganggu bagi
perusahaan di bidang pertambangan.
Jabatannya saat ini memang sebagai Presiden Komisaris PT
Raiu Pulp and Paper (RAPP), setelah resmi keluar dari perusahaan pertambangan
nikel, yaitu PT International Nickel Indonesia (INCO). Tapi hingga saat ini,
Tony Wenas tetap menjadi Wakil Ketua Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesia Mining Associations/IMA).
Ditemui TOPIS di ruang kerjanya, baru-baru ini, mantan
petolan band era 80-an (Solid ’80)pun memaparkan sejumlah persoalan di
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) yang dirasakan menjadi kendala untuk
pengembangan industry pertambangan di Indonesia.
Menurut dia, saat ini ada semacam ego sektoral di kalangan
kementerian yang mengurusi sumber daya alam (SDA) di Indonesia, seperti
Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM), Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan
Kementerian Pertanian.
Dan adanya ego sektoral tersebut, mengakibatkan banyak
peraturan dan kebijakan di sector pengelolaan SDA ini akhirnya saling overlapping atau tumpangtindih. Ini
membuat, pengusaha menjadi gamang. Karena bimbang untuk mengikuti peraturan
yang mana.
“Bagi industri pertambangan, pasti akan mengikuti peraturan
dari Kementerian ESDM, dan Undang-undang yang digunakan dan jadi acuan pastilah
Undang-undang Pertambangan. Tapi persoalannya, saat ini juga ada pembatasan
dari Kementerian Kehutanan terhadap industri pertambangan,” papar Tony.
Menurut dia, bagi pengusaha, tidak masalah kalau harus diatur.
“Diatur bagaimana pun, pengusaha tidak masalah. Selama aturannya jelas. Jangan
terjadi tumpang tindih. Karena ini justeru akan membingungkan kami,” ucap dia.
Karena pertimbangan ini, dia pun mengusulkan, di Indonesia
sebaiknya dibentuk Kementerian Kordinator Bidang SDA, sebagai payung dari seluruh
kementerian yang mengurusi sektor SDA. Sebab menurutnya, di Indonesia SDA, seperti
minyak dan gas (Migas), batubara, nikel, tembaga dan petambangan yang lain
sangat dominan. Begitu pun dengan kehutanan, ada berapa juta hektar potensi
yang ada di Indonesia. Hal sama juga terjadi pada sektor pertaian dan
perkebunan. Potensi sektor ini juga sangat besar.
Dan semua sumer daya alam ini sangat dominandimonan, khususnya
dalam memberikan kontribusi bagi produk domestik bruto (PDB) nasional. “Jadi
kenapa kita tidak bentuk saja satu Kementerian Kordinator SDA,” tandasnya.
Dia mencontohkan, kebijakan ini telah diambil oleh salah
satu negara tetangga Indonesia. Di negara itu,
ada yang namanya Menteri SDA, dan di bawahnya ada Dirjen Pertambangan, Dirjen
Migas, Dirjen Kehutanan dan juga Dirjen Lingkungan Hidup. “Jadi sektor-sektor
yang saat ini dipegang oleh kementerian
di Indonesia, di sana hanya di level Dirjen. Memang mungkin di negara
itu sumber daya alamnya tidak sebesar Indonesia. Tapi yang pasti, kebijakannya
menjadi lebih jelas dan terarah.”
Menurut dia, Kalau kita bicara baagaimana kebijakan di
Indonesia, sebenarnya semua yang diatur oleh negara ini seuanya baik. Cuma
bagaimana mengaturnya, itu yang perlu dibenahi. Karena bagi investor, yang terpenting
ada kepastian hukum dan kepastian berusaha.
“Jadi semuanya harus jelas. Jangan terjadi tumpangtindih dan
jelas diaturya. Karena yang namanya hukum, kalau setelah diundangkan tapi dalam
kenyataannya susah untuk diimplemntasikan. Maka dia menjadi mandul dong,” tambah Tony.
Hapus Pasal 38
Bagi industri pertambangan, persoalan yang kerap kali
menjadi permasalahan dan berbenturan dengan Kementerian Kehutanan adalah
persoalan izin pinjam pakai. Dan benturan antara sektor pertambangan dengan
Kemenhut tersebut, terjadi sejak diundangkannya UU No.41/1999 tentang
Kehutanan.
Khususnya Pasal 38 UU 41/1999. Dimana dalam Pasal 38
disebutkan, pertambangan dengan pola terbuka di kawasan hutan lindung dilarang.
Dengan adanya ketentuan ini, ada kesan sektor kehutanan mengatur pertambangan.
Seharusnya, tambah dia, yang mengatur pertambangan, hanya kementerian
pertambangan. ”Ini kok UU Kehutanan malah melarang kegiatan pertambangan.”
Apalagi tipikal pertambangan di Indonesia, pada umumnya
kandungan mineral berada tidak jauh dari permukaan tanah. Sehingga yang paling
memungkinkan dilakukan, adalah dengan pola pertambangan terbuka.
“Orang sumber mineralnya ada di permukaan, kok ditambang dengan cara bawah tanah.
Ini kan tidak masuk akal, karena
tetap saja akan bolong. Atau mungkin juga bisa menyebakan longsor, yang justeru
akan lebih membahayakan,” tandas Tony.
Dan yang menjadi masalah lagi, sebagian wilayah tambang itu
berada di wilayah hutan, termasuk hutan lindung. Ini, menurut dia, tentu sangat
menghambat investasi di sektor pertambangan. Karena dengan adanya ketentuan itu,
praktis perusahaan pertambangan yang telah mendapatkan izin tidak bisa
melaksanakan kegiatan penambangan. Kecuali 13 izin pertambangan seperti yang
ditentukan Keputusan Presiden (Keppres) No.41 /2004.
Menurut Tony Wenas, harusnya pasal 38 dalam UU 41 itu
ditiadakan. Sebab, seharusnya pertambangan terbuka boleh dilakukan di hutan
lindung, dengan syarat tertentu. Bagaimana syaratnya,menurut dia, itu bisa
ditentukan kemudian. Karena Pasal 33 UUD 1945 sendiri dengan tegas mengatakan,
bumi, air dan kekayaan yang terkandung
di dalammnya dikuasai oleh negara untuk diusahakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Indonesia.
“Seharusnya kan,
boleh diusahakan tapi dengan syarat-syarat yang jelas. Seperti harus ada izin
pinjam pakai, ada pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tata air
yang baik, dan sebagainya. Kalau sekarang kan
sama sekali tidak boleh. Itu kan sama
saja dengan melanggar Pasal 33 UUD 1945,” tandas Tony.
Dia juga mengungkapkan, pada dasarnya semua pertambangan
yang bertanggungjawab, pasti akan memeperhatikan masalah lingkungan. Meski
demikian dia mengakui, saat ini masih banyak sekali pertambangan kecil di
daerah yang main babat saja dan tidak memperhatikan masalah lingkungan. ”Ini
yang tidak betul. Tapi ini bukan anggota IMA, karena izin pertambangan
jumlahnya mencapai 10.000,” tambahnya.
Menurut Tony, sebagian besar anggota IMA adalah perusahaan
pertambangan mineral yang telah mendapatkan izin sebelum diterbitkannya UU 41
tetang Kehutanan. “Dan Alhamdulillah, saat ini hanya tinggal beberapa
perusahaan yang masih terbentur dengan persoalan Pasal 38 UU 41/1999 tersebut,”
terangnya.
Penegakan Hukum
Selain persoalan kebijakan, yang juga paling dirasakan
menghambat investor pertambangan akhir-akhir ini, adalah persoalan penegakan
hukum atau low enforcement. Sekarang
ini, menurut dia, ada kecenderungan, pemerintah seolah membiarkan aksi
kriminalitas yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan
masyarakat.
Di contohkan, aksi anarkis masyarakat yang tidak setuju atas
keberadaan suatu perusahaan di wilayahnya hingga membakar kantor bupati atau
membakar camp-camp perusahaan.Seharusnya pelaku aksi itu ditangkap, karena
sudah merupakan tindakan kriminal. Tapi kecenderungan yang terjadi saat ini,
pemerintah dan aparat justeru membiarkannya. Dan malah menuntut perusahaan
untuk menyeklesaikan sendiri persoalan yang dihadapi.
Dirinya mengaku pernah membaca baca salah satu statement dari pejabat di media massa
nasional yang mengatakan, kalau ada perusahaan-perusahaan yang di wilayahnya
ada konflik atau tumpangtindih dengan perusahaan lain, tolonglah diselesaikan
secara musyawarah.
“Kalau menurut saya, itu statement
yang salah. Karena permasalahan itu tidak akan terjadi kalau pemerintah tidak
menerbitkan izin di atas izin orang atau perusahaan lain,” tambah Tony.
Menurutnya, masyarakat yang keberatan terhadap izin suatu perusahaan di
daerahnya, seharusnya juga bisa menyelesaikannya secara musyawarah dan dialog.
Bukan dengan aksi bakar membakar.
Selanjutnya, bicara mengenai tata batas wilayah,menurut Tony
Wenas, di industri pertambangan tentu sudah sangat jelas sekali. Karena sebelum
diterbitkannya Izin Usaha Produksi (IUP), setiap perusahaan pertambangan sebelum
produksi harus lebih dulu melakukan kegiatan ekspolrasi, feasibility study, dan kontruksi. Dimana tiap tahapan-tahapan itu
dilaksanakan, dilakukan pengukuran, sehingga jelas tata batasnya.
Menurut dia, permasalah tata batas, mungkin saja masih ada
di sektor kehutanan. Karena misalnya, satu perusahaan HTI mendapatkan kawasan
konsesi di suatu blok dengan luas 10.000 hektar, tentu saja tata batasnya belum
ditentukan karena bentuknya masih hutan semua.
Terkait surat edaran Menhut
(SE.1/ Menhut/2012 tentang Pelaksanaan Tata Batas Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hutan) yang mengharuskan pemegang
izin untuk menyelesaikan tata batas wilayahnya selama 3 bulan (sejak pertengahan
Februari 2012), menurutnya, merupakan himbauan yang terlalu lu optimistis,
karena sangat sulit untuk dilakukan.
Sebab menurut, Tony, penyelesaian tata batas sangat tergantung
pada luas wilayah dan tingkat kesulitannya di areal yang menjadi konsesi. Belum
lagi dengan jumlah tenaga yang digunakan untuk menyelesikan tata batas
tersebut. Tapi terlepas dari itu, Tonyu setuju, jika tata batas memang harus
dilakukan. Sebab, masalah itu menyangkut
batas definitive wilayah kerja suatu perusahaan.
Terkait enam opsi penyelesaikan konflik lahan, khususnya
yang menyangkut masalah masyarakat adat. Menurut dia, juga sangat sulit untuk
dilaksanakan. Karena dalam hukum positif kita sendiri, hanya mengakui
keberadaannya masyarakat adat. Sementara hokum adatnya tidak diatur.
Dengan demikian, kalau kita bicara mengenai masyarakat adat,
maka yang juga menjadi pertanyaan adalah masyarakat mana yang harus diakui.
Karena di Papua misalnya, di sana ada ratusan suku dan masing-masing punya sub
suku-suku lagi.
“Jadi masyarakat adat mana yang harus kita akui. Belum lagi
mengenai siapa yang menjadi pemimpinya. Karena di sana juga banyak pemimpin
atau orang yang mengaku-aku sebagai kepala adat,” ucapnya.
Soal wilayah adat, juga akan menjadi persoalan. Karena selama
ini tidak ada pemetaan yang jelas atas wilayah tanah adat. Masyarakat adat
umumnya memakai patokan tidak tertulis untuk menentukan wilayahnya. Ada
masyarakat yang mengklaim sebagai tanah adatnya karena mereka telah memakamkan
kelaurganya di daerah itu. Atau ada juga mengklaim suiatu wilayah sebagai tanah
adatnya, karena mereka melakukan aktivitas beruburu di daerah itu.
Dan kalau dari segi hukumnya, hukum adat hanya bias diakui
keberadaanya kalau masih hidup dan gugubakan dalam kehidupoan sehari-hari. “Inilah
yang menjadi persoalan utama kalau kita bicara mengenai masyarakat adat.
Misalnya masyarakat adat Melayu Riau, ya hanya orang Melayu Riau. Orang Jawa
atau orang Sumatera Utara yang telah tinggal selama puluhan tahun di situ,
tetap saja disebut sebagai pendatang. Karena yang namnya masyarakat adat, ya
orang setempat yang benar-benar asli dari daerah itu,” papar dia.
Dia juga menilai, kalau kita berpatokan pada masyarakat adat,
sama saja dengan terjadi kemunduran hukum. Karena sekarang ini kita bergerak ke
arah hukum positif. Jadi yang paling legitimit dalam kaitan ini, menurut dia, adalah
Kepala Desa, sebagai perwakilan dari suatu desa, dengan ditambah tokoh-tokoh
masyarakat.
Menurutnya, tidak bisa suatu tataran masyarakat adat,
diberlakukan untuk masyarakat lain. Seperti di Riau, tidak bisa orang dari Jawa
dipaksakan untuk diberlakukan dengan aturan masyarakat Melayu Riau.
Tony mengaku setuju jika dalam pengelolaan sumber daya alam,
pengusaha harus benar-benar memperhatikan aspirasi masyarakat setempat. Menurut
dia, keberadaan perusahaan di suatu wilayah juga harus benar-benar memberi
manfaat bagi masyarakat setempat. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar