Selasa, 01 Mei 2012

Tony Wenas


Perlu Sinkronisasi Kebiajakan di Kemenhut

Persoalan kebijakan di Kementerian Kehutanan (Kemenhut), sepertinya menjadi prioritas yang harus segera dibenahi ke depan. Dan ketidaksinkronan kebijakan antarsektor, merupakan peroalan utama yang dirasakan paling mengganggu bagi perusahaan di bidang pertambangan.

Jabatannya saat ini memang sebagai Presiden Komisaris PT Raiu Pulp and Paper (RAPP), setelah resmi keluar dari perusahaan pertambangan nikel, yaitu PT International Nickel Indonesia (INCO). Tapi hingga saat ini, Tony Wenas tetap menjadi Wakil Ketua Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesia Mining Associations/IMA).
Ditemui TOPIS di ruang kerjanya, baru-baru ini, mantan petolan band era 80-an (Solid ’80)pun memaparkan sejumlah persoalan di Kementerian Kehutanan (Kemenhut) yang dirasakan menjadi kendala untuk pengembangan industry pertambangan di Indonesia.
Menurut dia, saat ini ada semacam ego sektoral di kalangan kementerian yang mengurusi sumber daya alam (SDA) di Indonesia, seperti Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Pertanian.
Dan adanya ego sektoral tersebut, mengakibatkan banyak peraturan dan kebijakan di sector pengelolaan SDA ini akhirnya saling overlapping atau tumpangtindih. Ini membuat, pengusaha menjadi gamang. Karena bimbang untuk mengikuti peraturan yang mana.
“Bagi industri pertambangan, pasti akan mengikuti peraturan dari Kementerian ESDM, dan Undang-undang yang digunakan dan jadi acuan pastilah Undang-undang Pertambangan. Tapi persoalannya, saat ini juga ada pembatasan dari Kementerian Kehutanan terhadap industri pertambangan,” papar Tony.
Menurut dia, bagi pengusaha, tidak masalah kalau harus diatur. “Diatur bagaimana pun, pengusaha tidak masalah. Selama aturannya jelas. Jangan terjadi tumpang tindih. Karena ini justeru akan membingungkan kami,” ucap dia.
Karena pertimbangan ini, dia pun mengusulkan, di Indonesia sebaiknya dibentuk Kementerian Kordinator Bidang SDA, sebagai payung dari seluruh kementerian yang mengurusi sektor SDA. Sebab menurutnya, di Indonesia SDA, seperti minyak dan gas (Migas), batubara, nikel, tembaga dan petambangan yang lain sangat dominan. Begitu pun dengan kehutanan, ada berapa juta hektar potensi yang ada di Indonesia. Hal sama juga terjadi pada sektor pertaian dan perkebunan. Potensi sektor ini juga sangat besar.
Dan semua sumer daya alam ini sangat dominandimonan, khususnya dalam memberikan kontribusi bagi produk domestik bruto (PDB) nasional. “Jadi kenapa kita tidak bentuk saja satu Kementerian Kordinator SDA,” tandasnya.
Dia mencontohkan, kebijakan ini telah diambil oleh salah satu negara tetangga Indonesia. Di negara itu,  ada yang namanya Menteri SDA, dan di bawahnya ada Dirjen Pertambangan, Dirjen Migas, Dirjen Kehutanan dan juga Dirjen Lingkungan Hidup. “Jadi sektor-sektor yang saat ini dipegang oleh kementerian  di Indonesia, di sana hanya di level Dirjen. Memang mungkin di negara itu sumber daya alamnya tidak sebesar Indonesia. Tapi yang pasti, kebijakannya menjadi lebih jelas dan terarah.”
Menurut dia, Kalau kita bicara baagaimana kebijakan di Indonesia, sebenarnya semua yang diatur oleh negara ini seuanya baik. Cuma bagaimana mengaturnya, itu yang perlu dibenahi. Karena bagi investor, yang terpenting ada kepastian hukum dan kepastian berusaha.
“Jadi semuanya harus jelas. Jangan terjadi tumpangtindih dan jelas diaturya. Karena yang namanya hukum, kalau setelah diundangkan tapi dalam kenyataannya susah untuk diimplemntasikan. Maka dia menjadi mandul dong,” tambah Tony.
Hapus Pasal 38
Bagi industri pertambangan, persoalan yang kerap kali menjadi permasalahan dan berbenturan dengan Kementerian Kehutanan adalah persoalan izin pinjam pakai. Dan benturan antara sektor pertambangan dengan Kemenhut tersebut, terjadi sejak diundangkannya UU No.41/1999 tentang Kehutanan.
Khususnya Pasal 38 UU 41/1999. Dimana dalam Pasal 38 disebutkan, pertambangan dengan pola terbuka di kawasan hutan lindung dilarang. Dengan adanya ketentuan ini, ada kesan sektor kehutanan mengatur pertambangan. Seharusnya, tambah dia, yang mengatur pertambangan, hanya kementerian pertambangan. ”Ini kok UU Kehutanan malah melarang kegiatan pertambangan.”
Apalagi tipikal pertambangan di Indonesia, pada umumnya kandungan mineral berada tidak jauh dari permukaan tanah. Sehingga yang paling memungkinkan dilakukan, adalah dengan pola pertambangan terbuka.
“Orang sumber mineralnya ada di permukaan, kok ditambang dengan cara bawah tanah. Ini kan tidak masuk akal, karena tetap saja akan bolong. Atau mungkin juga bisa menyebakan longsor, yang justeru akan lebih membahayakan,” tandas Tony.
Dan yang menjadi masalah lagi, sebagian wilayah tambang itu berada di wilayah hutan, termasuk hutan lindung. Ini, menurut dia, tentu sangat menghambat investasi di sektor pertambangan. Karena dengan adanya ketentuan itu, praktis perusahaan pertambangan yang telah mendapatkan izin tidak bisa melaksanakan kegiatan penambangan. Kecuali 13 izin pertambangan seperti yang ditentukan Keputusan Presiden (Keppres) No.41 /2004.
Menurut Tony Wenas, harusnya pasal 38 dalam UU 41 itu ditiadakan. Sebab, seharusnya pertambangan terbuka boleh dilakukan di hutan lindung, dengan syarat tertentu. Bagaimana syaratnya,menurut dia, itu bisa ditentukan kemudian. Karena Pasal 33 UUD 1945 sendiri dengan tegas mengatakan, bumi, air dan kekayaan yang  terkandung di dalammnya dikuasai oleh negara untuk diusahakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
 “Seharusnya kan, boleh diusahakan tapi dengan syarat-syarat yang jelas. Seperti harus ada izin pinjam pakai, ada pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tata air yang baik, dan sebagainya. Kalau sekarang kan sama sekali tidak boleh. Itu kan sama saja dengan melanggar Pasal 33 UUD 1945,” tandas Tony.
Dia juga mengungkapkan, pada dasarnya semua pertambangan yang bertanggungjawab, pasti akan memeperhatikan masalah lingkungan. Meski demikian dia mengakui, saat ini masih banyak sekali pertambangan kecil di daerah yang main babat saja dan tidak memperhatikan masalah lingkungan. ”Ini yang tidak betul. Tapi ini bukan anggota IMA, karena izin pertambangan jumlahnya mencapai 10.000,” tambahnya.
Menurut Tony, sebagian besar anggota IMA adalah perusahaan pertambangan mineral yang telah mendapatkan izin sebelum diterbitkannya UU 41 tetang Kehutanan. “Dan Alhamdulillah, saat ini hanya tinggal beberapa perusahaan yang masih terbentur dengan persoalan Pasal 38 UU 41/1999 tersebut,” terangnya.
Penegakan Hukum
Selain persoalan kebijakan, yang juga paling dirasakan menghambat investor pertambangan akhir-akhir ini, adalah persoalan penegakan hukum atau low enforcement. Sekarang ini, menurut dia, ada kecenderungan, pemerintah seolah membiarkan aksi kriminalitas yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat.
Di contohkan, aksi anarkis masyarakat yang tidak setuju atas keberadaan suatu perusahaan di wilayahnya hingga membakar kantor bupati atau membakar camp-camp perusahaan.Seharusnya pelaku aksi itu ditangkap, karena sudah merupakan tindakan kriminal. Tapi kecenderungan yang terjadi saat ini, pemerintah dan aparat justeru membiarkannya. Dan malah menuntut perusahaan untuk menyeklesaikan sendiri persoalan yang dihadapi.
Dirinya mengaku pernah membaca baca salah satu statement dari pejabat di media massa nasional yang mengatakan, kalau ada perusahaan-perusahaan yang di wilayahnya ada konflik atau tumpangtindih dengan perusahaan lain, tolonglah diselesaikan secara musyawarah.
“Kalau menurut saya, itu statement yang salah. Karena permasalahan itu tidak akan terjadi kalau pemerintah tidak menerbitkan izin di atas izin orang atau perusahaan lain,” tambah Tony. Menurutnya, masyarakat yang keberatan terhadap izin suatu perusahaan di daerahnya, seharusnya juga bisa menyelesaikannya secara musyawarah dan dialog. Bukan dengan aksi bakar membakar.
Selanjutnya, bicara mengenai tata batas wilayah,menurut Tony Wenas, di industri pertambangan tentu sudah sangat jelas sekali. Karena sebelum diterbitkannya Izin Usaha Produksi (IUP), setiap perusahaan pertambangan sebelum produksi harus lebih dulu melakukan kegiatan ekspolrasi, feasibility study, dan kontruksi. Dimana tiap tahapan-tahapan itu dilaksanakan, dilakukan pengukuran, sehingga jelas tata batasnya.
Menurut dia, permasalah tata batas, mungkin saja masih ada di sektor kehutanan. Karena misalnya, satu perusahaan HTI mendapatkan kawasan konsesi di suatu blok dengan luas 10.000 hektar, tentu saja tata batasnya belum ditentukan karena bentuknya masih hutan semua.
Terkait surat edaran Menhut  (SE.1/ Menhut/2012 tentang Pelaksanaan Tata Batas Areal Izin Usaha  Pemanfaatan Hutan) yang mengharuskan pemegang izin untuk menyelesaikan tata batas wilayahnya selama 3 bulan (sejak pertengahan Februari 2012), menurutnya, merupakan himbauan yang terlalu lu optimistis, karena sangat sulit untuk dilakukan.
Sebab menurut, Tony, penyelesaian tata batas sangat tergantung pada luas wilayah dan tingkat kesulitannya di areal yang menjadi konsesi. Belum lagi dengan jumlah tenaga yang digunakan untuk menyelesikan tata batas tersebut. Tapi terlepas dari itu, Tonyu setuju, jika tata batas memang harus dilakukan. Sebab, masalah  itu menyangkut batas definitive wilayah kerja suatu perusahaan.
Terkait enam opsi penyelesaikan konflik lahan, khususnya yang menyangkut masalah masyarakat adat. Menurut dia, juga sangat sulit untuk dilaksanakan. Karena dalam hukum positif kita sendiri, hanya mengakui keberadaannya masyarakat adat. Sementara hokum adatnya tidak diatur.
Dengan demikian, kalau kita bicara mengenai masyarakat adat, maka yang juga menjadi pertanyaan adalah masyarakat mana yang harus diakui. Karena di Papua misalnya, di sana ada ratusan suku dan masing-masing punya sub suku-suku lagi.
“Jadi masyarakat adat mana yang harus kita akui. Belum lagi mengenai siapa yang menjadi pemimpinya. Karena di sana juga banyak pemimpin atau orang yang mengaku-aku sebagai kepala adat,” ucapnya.
Soal wilayah adat, juga akan menjadi persoalan. Karena selama ini tidak ada pemetaan yang jelas atas wilayah tanah adat. Masyarakat adat umumnya memakai patokan tidak tertulis untuk menentukan wilayahnya. Ada masyarakat yang mengklaim sebagai tanah adatnya karena mereka telah memakamkan kelaurganya di daerah itu. Atau ada juga mengklaim suiatu wilayah sebagai tanah adatnya, karena mereka melakukan aktivitas beruburu di daerah itu.
Dan kalau dari segi hukumnya, hukum adat hanya bias diakui keberadaanya kalau masih hidup dan gugubakan dalam kehidupoan sehari-hari. “Inilah yang menjadi persoalan utama kalau kita bicara mengenai masyarakat adat. Misalnya masyarakat adat Melayu Riau, ya hanya orang Melayu Riau. Orang Jawa atau orang Sumatera Utara yang telah tinggal selama puluhan tahun di situ, tetap saja disebut sebagai pendatang. Karena yang namnya masyarakat adat, ya orang setempat yang benar-benar asli dari daerah itu,” papar dia.
Dia juga menilai, kalau kita berpatokan pada masyarakat adat, sama saja dengan terjadi kemunduran hukum. Karena sekarang ini kita bergerak ke arah hukum positif. Jadi yang paling legitimit dalam kaitan ini, menurut dia, adalah Kepala Desa, sebagai perwakilan dari suatu desa, dengan ditambah tokoh-tokoh masyarakat.
Menurutnya, tidak bisa suatu tataran masyarakat adat, diberlakukan untuk masyarakat lain. Seperti di Riau, tidak bisa orang dari Jawa dipaksakan untuk diberlakukan dengan aturan masyarakat Melayu Riau.
Tony mengaku setuju jika dalam pengelolaan sumber daya alam, pengusaha harus benar-benar memperhatikan aspirasi masyarakat setempat. Menurut dia, keberadaan perusahaan di suatu wilayah juga harus benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat setempat. ***

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar