Sawarendro
Pengamat Masalah Banjir dan Reklamasi
Pembangunan Tanggul Laut di Teluk Jakarta merupakan
salah satu solusi efektif untuk mencegah ancaman penurunan muka tanah dan kenaikan
muka air laut, yang akan menjadi persoalan utama untuk wilayah Jakarta Utara di
masa mendatang. Bukan hanya itu, pembangunan tanggul laut yang komprehensif
juga dapat menjadi solusi bagi permasalahan lain di Jakarta, seperti
transportasi, penyediaan air baku, menahan intrusi air laut, land development
dan rekreasi serta pembangunan pelabuhan laut dalam.
Hingga kini, Jakarta masih berjuang mengatasi banjir yang sering datang kala musim penghujan
tiba. Dan banjir yang terjadi di Jakarta, merupakan akumulasi dari berbagai penyebab, seperti urbanisasi, kondisi
hidrogeologi, luas badan air yang minim, rendahnya daratan di ibu kota dan
lain-lain. Belakangan ancaman terjadinya banjir lebih mengkhawatirkan, khususnya yang dipicu oleh semakin menurunnya permukaan tanah di Jakarta dan
kecenderungan fenomena global yang menunjukkan bahwa permukaan air laut terus
meningkat akibat terjadinya pemanasan global.
Kedua faktor ini,
menyebabkan permukaan tanah di Jakarta relatif akan
semakin rendah bila dibandingkan permukaan air laut. Akibatnya, ancaman banjir
dan genangan akan semakin berat dirasakan di masa depan, terutama untuk wilayah
Jakarta Utara. Limpasan air laut dan rob akan menjadi isu dominan di masa
datang. Dan untuk mengantisipasinya, diperlukan langkah-langkah yang fundamental, konseptual dan visioner agar pengembangan
Jakarta dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Karena itu pembangunan Tanggul Laut adalah
salah satu solusi yang
sangat masuk akan untuk menghadapi ancaman tersebut. Sebab walau bagaimanapun, masuknya air laut ke
daratan harus dihindari. Sebab jika kita tidak melakukan sesuatu maka bukan
tidak mungkin, daratan
tempat kita menetap dan beraktivitas ini menjadi lautan. Dan sebagian wilayah Jakarta bisa tergenang air secara permanen.
Skenario Pembangunan Tanggul Laut
Rencana
tanggul diharapkan tidak menjadi tanggul yang kaku, namun tanggul yang
memberikan nilai tambah terhadap kehidupan dan lingkungan. Misalnya ruang air yang berada
didalam air bisa menjadi sumber air baku, menjadi sumber air yang bisa di
masukkan kembali ke dalam tanah (Aquifer Storage Recovery), bisa menjadi tempat rekreasi, penahan intrusi dan erosi serta tanggul yang bisa berfungsi sebagai jalan penghubung Barat-Timur.
Sesuai Peraturan Presiden
(Perpres) 54, Tahun 2008, tentang Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, maka pembangunan
tanggul laut sebagai bagian dari reklamasi dapat dilakukan sampai dengan
kedalaman laut kurang dari delapan meter. Karenanya, dalam pelaksanaan
reklamasi dan pengembangan tanggul, perlu diperhatikan beberapa aspek berikut, yaitu ada tiga aliran sungai yang
mempunya debit air cukup
besar, dan terdapat
pelabuhan yang menjadi jalur keluar masuknya kapal laut.
Untuk tiga aliran sungai yang mempunyai debit air
cukup besar, kita memiliki Cengkareng
Drain, Banjir Kanal Barat (BKB) dan
Banjir Kanal Timur (BKT).
Menurut studi JICA 1997, Cengkareng Drain dan BKB memiliki debit lebih dari 500
m³/detik dan BKT memiliki
debit 390 m³/detik untuk kala ulang rencana 100 tahun. Dan
untuk pelabuhan, Jakarta punya Tanjung
Priok dan Pelabuhan Sunda Kelapa yang menjadi tempat keluar masuknya
transportasi kapal.
Tanggul merupakan benteng
pertahanan dalam menahan air yang akan memasuki kawasan. Karena itu kekuatan
benteng ini harus benar-benar diperhatikan. Kemungkinan air yang datang dari
laut harus benar-benar mampu dikelola. Tanggul harus benar-benar kokoh dan
tidak mudah mengalami perubahan bentuk.
Di negeri Belanda
penggunaaan sistem tanggul ini telah berlangsung selama beberapa dekade. Di negeri itu, tingkat keamanan tanggul
disesuaikan dengan kepadatan penduduk dan nilai aset yang hendak dilindungi. Untuk wilayah barat yang
memiliki kepadatan
penduduk dan nilai aset ekonomi lebih tinggi misalnya, maka tingkat keamanan tanggul
lautnya dilakukan dengan mengacu pada kriteria kala ulang gelombang 1 per 10.000
tahun. Sedangkan di wilayah timur, yang
lahannya
lebih banyak digunakan untuk kebutuhan pertanian, maka dipersyaratkan tingkat keamanan
yang lebih rendah, dengan kala ulang sampai 1 per 1250 tahun.
Tingkat
keamanan tanggul ini berhubungan
dengan tingkat risiko atau konsekuensi
yang muncul. Misalnya jika terjadi keruntuhan atau ketidak berfungsian
struktur yang ada.
Dengan
memperhatikan penurunan muka tanah dan kenaikan muka laut, maka pembangunan tanggul laut di Teluk Jakarta dapat dijalankan dalam
tiga scenario, yaitu skenario Onland (pada eksisting garis pantai), skenario Offshore (dengan jalur sungai utama tetap terbuka), dan sekenario Offshore (dengan menutup jalur sungai utama).
Karena
masing masing skenario memiliki keunggulan dan keterbatasan. Maka semua bergantung pada waktu, perkembangan ekonomi dan
kecenderungan landsubsidence. Skenario satu memiliki kekuatan, bisa segera dilakukan dan melekat pada program yang ada
sekarang. Skenario dua menyesuaikan dengan
perkembangan pembangunan di kawasan Pantura, dan skenario tiga menyediakan tingkat fleksibilitas yang lebih tinggi jika landsubsidence
masih berlangsung dan memberikan kemungkinan penataan yang lebih. ***