Selasa, 24 Juli 2012

Tanggul Laut, Solusi Efektif untuk Teluk Jakarta


Sawarendro
Pengamat Masalah Banjir dan Reklamasi

Pembangunan Tanggul Laut di Teluk Jakarta merupakan salah satu solusi efektif untuk mencegah ancaman penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut, yang akan menjadi persoalan utama untuk wilayah Jakarta Utara di masa mendatang. Bukan hanya itu, pembangunan tanggul laut yang komprehensif juga dapat menjadi solusi bagi permasalahan lain di Jakarta, seperti transportasi, penyediaan air baku, menahan intrusi air laut, land development dan rekreasi serta pembangunan pelabuhan laut dalam.

Hingga kini, Jakarta masih berjuang mengatasi banjir yang sering datang kala musim penghujan tiba. Dan banjir yang terjadi di Jakarta, merupakan akumulasi dari berbagai penyebab, seperti urbanisasi, kondisi hidrogeologi, luas badan air yang minim, rendahnya daratan di ibu kota dan lain-lain. Belakangan ancaman terjadinya banjir lebih mengkhawatirkan, khususnya yang dipicu oleh semakin menurunnya permukaan tanah di Jakarta dan kecenderungan fenomena global yang menunjukkan bahwa permukaan air laut terus meningkat akibat terjadinya pemanasan global.

Kedua faktor ini, menyebabkan permukaan tanah di Jakarta relatif akan semakin rendah bila dibandingkan permukaan air laut. Akibatnya, ancaman banjir dan genangan akan semakin berat dirasakan di masa depan, terutama untuk wilayah Jakarta Utara. Limpasan air laut dan rob akan menjadi isu dominan di masa datang. Dan untuk mengantisipasinya, diperlukan langkah-langkah yang fundamental, konseptual dan visioner agar pengembangan Jakarta dapat dilakukan secara berkelanjutan.

Karena itu pembangunan  Tanggul Laut adalah salah satu solusi yang sangat masuk akan untuk menghadapi ancaman tersebut. Sebab walau bagaimanapun, masuknya air laut ke daratan harus dihindari. Sebab jika kita tidak melakukan sesuatu maka bukan tidak mungkin, daratan tempat kita menetap dan beraktivitas ini menjadi lautan. Dan sebagian wilayah  Jakarta bisa tergenang air secara permanen.

Skenario  Pembangunan Tanggul Laut

Rencana tanggul diharapkan tidak menjadi tanggul yang kaku, namun tanggul yang memberikan nilai tambah terhadap kehidupan dan lingkungan. Misalnya ruang air yang berada didalam air bisa menjadi sumber air baku, menjadi sumber air yang bisa di masukkan kembali ke dalam tanah (Aquifer Storage Recovery), bisa menjadi tempat rekreasi, penahan intrusi dan erosi serta tanggul yang bisa berfungsi sebagai jalan penghubung Barat-Timur.

Sesuai Peraturan Presiden (Perpres) 54, Tahun 2008, tentang Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur,  maka  pembangunan tanggul laut sebagai bagian dari reklamasi dapat dilakukan sampai dengan kedalaman laut kurang dari delapan meter. Karenanya, dalam pelaksanaan reklamasi dan pengembangan tanggul, perlu diperhatikan beberapa aspek berikut, yaitu ada tiga aliran sungai yang mempunya debit air cukup besar, dan terdapat pelabuhan yang menjadi jalur keluar masuknya kapal laut.

Untuk tiga aliran sungai yang mempunyai debit air cukup besar, kita memiliki Cengkareng Drain, Banjir Kanal Barat (BKB) dan Banjir Kanal Timur (BKT). Menurut studi JICA 1997, Cengkareng Drain dan BKB memiliki debit lebih dari 500 m³/detik dan BKT memiliki debit 390 m³/detik untuk kala ulang rencana 100 tahun. Dan untuk pelabuhan, Jakarta punya Tanjung Priok dan Pelabuhan Sunda Kelapa yang menjadi tempat keluar masuknya transportasi kapal.
Tanggul merupakan benteng pertahanan dalam menahan air yang akan memasuki kawasan. Karena itu kekuatan benteng ini harus benar-benar diperhatikan. Kemungkinan air yang datang dari laut harus benar-benar mampu dikelola. Tanggul harus benar-benar kokoh dan tidak mudah mengalami perubahan bentuk.

Di negeri Belanda penggunaaan sistem tanggul ini telah berlangsung selama beberapa dekade. Di negeri itu, tingkat keamanan tanggul disesuaikan dengan kepadatan penduduk dan nilai aset yang hendak dilindungi. Untuk wilayah barat yang memiliki kepadatan penduduk dan nilai aset ekonomi lebih tinggi misalnya, maka tingkat keamanan tanggul lautnya dilakukan dengan mengacu pada kriteria kala ulang gelombang 1 per 10.000 tahun. Sedangkan di wilayah timur, yang lahannya lebih banyak digunakan untuk kebutuhan pertanian, maka dipersyaratkan tingkat keamanan yang lebih rendah, dengan kala ulang sampai 1 per 1250 tahun.

Tingkat keamanan tanggul ini berhubungan dengan tingkat risiko atau konsekuensi yang muncul. Misalnya jika terjadi keruntuhan atau ketidak berfungsian struktur yang ada.

Dengan memperhatikan penurunan muka tanah dan kenaikan muka laut, maka pembangunan tanggul laut di Teluk Jakarta dapat dijalankan dalam tiga scenario, yaitu skenario Onland (pada eksisting garis pantai), skenario Offshore (dengan jalur sungai utama tetap terbuka), dan sekenario Offshore (dengan menutup jalur sungai utama).

Karena masing masing skenario memiliki keunggulan dan keterbatasan. Maka semua bergantung pada waktu, perkembangan ekonomi dan kecenderungan landsubsidence. Skenario satu memiliki kekuatan, bisa segera dilakukan dan melekat pada program yang ada sekarang. Skenario dua menyesuaikan dengan perkembangan pembangunan di kawasan Pantura, dan skenario tiga menyediakan tingkat fleksibilitas yang lebih tinggi jika landsubsidence masih berlangsung dan memberikan kemungkinan penataan yang lebih. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar