Putusan hakim kasasi Mahkamah Agung (MA)
yang mewajibkan Asian Agri Group (AGG) membayar denda pajak sebesar Rp2,519 triliun,
selain tidak rasional juga dirasakan
sangat memberatkan bagi perusahaan.
Bukan bermaksud ingin mendapatkan
perlakuan khusus dan lari dari tanggung jawanya, pihak manajemen pun terus
berjuang mendapatkan keadilan atas putusan MA tersebut.
Keberatan terdapap vonis MA tersebut
sebelumnya dilontarkan oleh Freddy Widjaya, general manager (GM) Asian Agri di
Pangkalan Kelinci, Palelawan, Riau belum lama ini. “Kami keberatan atas putusan
MA tersebut. Walau begitu, kami tetap komit pada Indonesia dan tidak mungkin
menolak Ditjen Pajak. Kami juga tidak mau perlakuan khusus, yang kami inginkan
hanya perlakuan hukum yang adil," ucap Freddy.
Menurut dia, kasus pajak yang menimpa
perusahaannya lebih bernuansa politik, tidak lagi murni sebagai kasus pajak.
Karena secara logika, tidak mungkin Asian Agri membayar pajak lebih besar dari PT
Astra Agro Lestari (AAL) yang memiliki bisnis kelapa sawit terbesar. “Asian
Agri kan hanya nomer 2 di bawah Astra. Jadi tidak mungkin kami membayar pajak
lebih besar (dari Astra-red)," terangnya.
Selain itu, selama periode 2002 – 2005, total
penghasilan bersih AAG hanya mencapai Rp1,24 triliun. Dengan demikian, jika
pajak yang dikenakan sebesar Rp1,25 triliun, maka artinya tarif pajak yang
dikenakan adalah 100 persen. “Namun kami akan tetap kooperatif, sambil tetap
melakukan PK," kata Freddy.
Sebagaimana diketahui, pada akhir 2012
lalu pengadilan kasasi MA memutuskan mantan manajer pajak Asian Agri, Suwir
Laut, bersalah dan dihukum pidana penjara dua tahun dengan masa percobaan
selama tiga tahun.
Selain itu, MA memutuskan 14 perusahaan
yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG), yang pengisian SPT tahunannya
diwakili terdakwa, wajib membayar sejumlah 2 x Rp1.259.977.695.652, yaitu
menjadi Rp2.519.955.391.304 secara tunai dalam waktu satu tahun ke depan.
Dengan kata lain, putusan tersebut
merupakan perkara penggelapan pajak yang diputuskan sebagai corporate liability (pertanggung
jawaban perusahaan), dimana perusahaan bertanggung jawab atap perbuatan pidana
pegawainya.
Tidak
Lazim dan Kacaukan Proses Hukum
Di kalangan praktisi dan pakar hukum
sendiri, putusan MA yang mewajibkan Asian Agri membayar pajak sebesar Rp 2,5 triliun, mendapat banyak kritikan. Pakar hukum pidana
Indrianto Senoadji misalnya. Menilai, putusan MA tersebut merupakan keputusan yang tidak
lazim dan satu-satunya di dunia. Sebab,
persoalan pajak bersifat lex specialist dan hanya bisa diputuskan oleh orang-orang pajak yang
sangat mengerti betul mengenai seluk beluk perpajakan.
”Jadi
sangat tidak rasional orang di luar pajak tiba-tiba mengerti dan menjatuhkan
putusan atas denda pajak terhadap Wajib Pajak (WP),” tandas Indrianto
pada sebuah kesempatan.
Menurut dia, MA tidak tepat dalam memvonis bayar denda pajak Rp2,5
triliun terhadap perusahaan perkebunan
Asian Agri, berkaitan putusan perkara pidana terpidana Suwir Laut yang dihukum
2 tahun penjara dalam kasus pajak.
“Asian Agri bukan subyek pidana dalam
kasus terpidana Suwir Laut, sehingga tidak dapat dikenakan hukuman pidana
berupa denda maupun ganti kerugian. Putusan itu sangat keliru dalam penerapan
hukumnya,” papar dia.
Wakil Ketua
Komite Tetap Pajak Kadin itu juga menilai, dalam banyak
kasus sengketa pajak, putusan pengadilan pajak kerap subyektif. “Jangankan MA,
keputusan yang ditetapkan pengadilan pajak kerap subyektif. Ini
karena banyak putusan ditetapkan hanya dengan mengacu kepada pendapat pegawai
pajak yang juga belum tentu mempunyai pengetahuan pajak yang mumpuni,” kata
Prijohandojo.
Sementara pakar hukum pidana Chaerul
Huda berpendapat, putusan majelis hakim MA yangt menghukum AAG membayar denda
triiliunan rupiah itu bisa berdampak pada kekacauan tatanan proses hukum.
Pasalnya, kesalahan yang dilakukan oleh karyawan,
tidak seharusnya perusahaan yang juga menerima hukuman. "Ini menimbulkan
kekacauan, karena ini kasus pertama karyawan yang menjadi terpidana, tapi
perusahaan yang dihukum," tegas Chaerul.
Menurut dia, MA dan Kejaksaan Agung (Kejagung) telah melakukan ‘akrobatik’
hukum dengan menghukum sebuah korporasi. Padahal yang bersalah adalah seorang karyawan.
Dia juga berpendapat, jika Asian Agri tidak membayar denda yang diperintahkan
majelis hakim tersebut, maka tidak ada yang bisa ditahan sebagai pengganti
hukuman (subsider).
Sementara pakar hukum Romli Atmasasmita menilai,
keluarnya putusan MA yang mewajibkan AAG membayar denda pajak sangat aneh. "Kasus
ini aneh karena Asian Agri Group tidak pernah didakwa sebelumnya. Yang didakwa
Suwir Laut, yang mantan Manager Pajak Asian Agri yang kini divonis 2 tahun
penjara," kata Romli.
Guru Besar Unpad Bandung itu menyatakan
kasus Asian Agri bukan korupsi pajak melainkan pidana pajak. Dimana dalam
Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) Tahun 1983,
yang bisa dikenai dakwaan korupsi pajak adalah petugas pajak (fiscus) bukan
wajib pajak.
"Apalagi ini wajib pajaknya sudah
kooperatif dengan bersedia membayar denda. Pengadilan harus memutuskan suatu
perbuatan yang didakwakan kepada seseorang, dalam hal ini Suwir Laut, bukan
Asian Agri Group," tandas Romli.
Dia juga mengungkapkan, dalam kasus ini
telah terjadi error in persona atau
suatu dakwaan atau gugatan dialamatkan kepada orang yang salah. Oleh karena
itu, aset perusahaan tidak boleh disita karena tidak terkait. Selain itu,
putusan tersebut juga non executable
atau tidak berdasar. Karena dari 14 perusahaan yang bernaung di bawah AAG, 8
diantarnya telah membayarkan pajaknya. Sementara 6 perusahaan lainnya masih
dalam proses penyelesaian.
Ramli lebih jauh mengatakan, situasi
dilematis seperti ini bisa menjadi ancaman bagi iklim usaha di Indonesia.
Karena dengan kasus ini membuat pengusaha takut berinvestasi, akibat tidak
adanya ketidakpastian hukum.
Sementara menurut mantan Direktur
Jenderal (Dirjen) Pajak Machfud Sidik, kasus pajak Asian Agri bukan tergolong
dalam kasus pidana, melainkan kasus administrasi pajak. Dimana kalau pajak
beserta dendanya sudah dibayarkan oleh penunggak pajak, maka kasusnya dianggap
selesai.
"Kalau melihat urutannya dari
pengadilan pajak sampai ke MA, itu merupakan kasus administrasi pajak. Jadi
kalau Asian Agri sudah membayar pajak berikut dendanya, ya kasus itu dianggap
selesai," jelas Mahfud.
Tidak
Masuk Akal
Pengamat ekonomi Faisal Basri menilai, sanksi denda dan pembayaran pajak Asian Agri
sangat tidak masuk akal. Karena bagaimana mungkin Asian
Agri menggelapkan pajak sebesar Rp1,25 triliun yang sama dengan pendapatannya
pada tahun bersangkutan (2002 – 2005-red). “Ini tidak rasional dan
berpeluang untuk ditinjau kembali.”
Menurut Faisal, untuk menghindari sentimen pihak-pihak tertentu, seharusnya perhitungan atas pajak Asian Agri
tersebut mengacu
kepada laporan keuangan perusahaan. Bukan
hanya berdasarkan laporan orang atau pihak tertentu.
Dia menduga, seperti juga terjadi dalam banyak sengketa pajak -- ada pihak tertentu yang sengaja menggiring opini publik
untuk menyalahkan wajib pajak. Karena itu, harus dilihat latar belakang
permasalahan dan melihat latar belakang orang-orang yang memutuskannya.
“Asian Agri masih jauh lebih baik dibandingkan
kebanyakan perusahaan sawit lainnya. Karena merupakan salah
satu pembayar pajak yang cukup besar. Masih
banyak perusahaan sawit besar yang malah membayar pajak dengan
nilai sangat kecil,” tambahnya. (***)