Jumat, 06 September 2013

Mencari Kadilan Atas Putusan MA

Putusan hakim kasasi Mahkamah Agung (MA) yang mewajibkan Asian Agri Group (AGG) membayar denda pajak sebesar Rp2,519 triliun, selain tidak rasional juga  dirasakan sangat memberatkan bagi perusahaan. 


Bukan bermaksud ingin mendapatkan perlakuan khusus dan lari dari tanggung jawanya, pihak manajemen pun terus berjuang mendapatkan keadilan atas putusan MA tersebut.

Keberatan terdapap vonis MA tersebut sebelumnya dilontarkan oleh Freddy Widjaya, general manager (GM) Asian Agri di Pangkalan Kelinci, Palelawan, Riau belum lama ini. “Kami keberatan atas putusan MA tersebut. Walau begitu, kami tetap komit pada Indonesia dan tidak mungkin menolak Ditjen Pajak. Kami juga tidak mau perlakuan khusus, yang kami inginkan hanya perlakuan hukum yang adil," ucap Freddy.

Menurut dia, kasus pajak yang menimpa perusahaannya lebih bernuansa politik, tidak lagi murni sebagai kasus pajak. Karena secara logika, tidak mungkin Asian Agri membayar pajak lebih besar dari PT Astra Agro Lestari (AAL) yang memiliki bisnis kelapa sawit terbesar. “Asian Agri kan hanya nomer 2 di bawah Astra. Jadi tidak mungkin kami membayar pajak lebih besar (dari Astra-red)," terangnya.

Selain itu, selama periode 2002 – 2005, total penghasilan bersih AAG hanya mencapai Rp1,24 triliun. Dengan demikian, jika pajak yang dikenakan sebesar Rp1,25 triliun, maka artinya tarif pajak yang dikenakan adalah 100 persen. “Namun kami akan tetap kooperatif, sambil tetap melakukan PK," kata Freddy.

Sebagaimana diketahui, pada akhir 2012 lalu pengadilan kasasi MA memutuskan mantan manajer pajak Asian Agri, Suwir Laut, bersalah dan dihukum pidana penjara dua tahun dengan masa percobaan selama tiga tahun.

Selain itu, MA memutuskan 14 perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG), yang pengisian SPT tahunannya diwakili terdakwa, wajib membayar sejumlah 2 x Rp1.259.977.695.652, yaitu menjadi Rp2.519.955.391.304 secara tunai dalam waktu satu tahun ke depan.

Dengan kata lain, putusan tersebut merupakan perkara penggelapan pajak yang diputuskan sebagai corporate liability (pertanggung jawaban perusahaan), dimana perusahaan bertanggung jawab atap perbuatan pidana pegawainya.

Tidak Lazim dan Kacaukan Proses Hukum

Di kalangan praktisi dan pakar hukum sendiri, putusan MA yang mewajibkan Asian Agri membayar pajak sebesar Rp 2,5 triliun, mendapat banyak kritikan. Pakar hukum pidana Indrianto Senoadji misalnya. Menilai, putusan MA tersebut merupakan keputusan yang tidak lazim dan satu-satunya di dunia. Sebab, persoalan pajak bersifat lex specialist dan hanya bisa diputuskan oleh orang-orang pajak yang sangat mengerti betul mengenai seluk beluk perpajakan.

”Jadi sangat tidak rasional orang di luar pajak tiba-tiba mengerti dan menjatuhkan putusan atas denda pajak terhadap Wajib Pajak (WP), tandas Indrianto pada sebuah kesempatan.

Menurut dia, MA tidak tepat dalam memvonis bayar denda pajak Rp2,5 triliun terhadap perusahaan perkebunan Asian Agri, berkaitan putusan perkara pidana terpidana Suwir Laut yang dihukum 2 tahun penjara dalam kasus pajak.

“Asian Agri bukan subyek pidana dalam kasus terpidana Suwir Laut, sehingga tidak dapat dikenakan hukuman pidana berupa denda maupun ganti kerugian. Putusan itu sangat keliru dalam penerapan hukumnya,” papar dia.

Wakil Ketua Komite Tetap Pajak Kadin itu juga menilai, dalam banyak kasus sengketa pajak, putusan pengadilan pajak kerap subyektif. “Jangankan MA, keputusan  yang ditetapkan  pengadilan pajak kerap subyektif. Ini karena banyak putusan ditetapkan hanya dengan mengacu kepada pendapat pegawai pajak yang juga belum tentu mempunyai pengetahuan pajak yang mumpuni,” kata Prijohandojo.

Sementara pakar hukum pidana Chaerul Huda berpendapat, putusan majelis hakim MA yangt menghukum AAG membayar denda triiliunan rupiah itu bisa berdampak pada kekacauan tatanan proses hukum.

Pasalnya, kesalahan yang dilakukan oleh karyawan, tidak seharusnya perusahaan yang juga menerima hukuman. "Ini menimbulkan kekacauan, karena ini kasus pertama karyawan yang menjadi terpidana, tapi perusahaan yang dihukum," tegas Chaerul.

Menurut dia, MA dan Kejaksaan Agung (Kejagung) telah melakukan ‘akrobatik’ hukum dengan menghukum sebuah korporasi. Padahal yang bersalah adalah seorang karyawan.

Dia juga berpendapat, jika Asian Agri tidak membayar denda yang diperintahkan majelis hakim tersebut, maka tidak ada yang bisa ditahan sebagai pengganti hukuman (subsider).

Sementara pakar hukum Romli Atmasasmita menilai, keluarnya putusan MA yang mewajibkan AAG  membayar denda pajak sangat aneh. "Kasus ini aneh karena Asian Agri Group tidak pernah didakwa sebelumnya. Yang didakwa Suwir Laut, yang mantan Manager Pajak Asian Agri yang kini divonis 2 tahun penjara," kata Romli.

Guru Besar Unpad Bandung itu menyatakan kasus Asian Agri bukan korupsi pajak melainkan pidana pajak. Dimana dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) Tahun 1983, yang bisa dikenai dakwaan korupsi pajak adalah petugas pajak (fiscus) bukan wajib pajak.

"Apalagi ini wajib pajaknya sudah kooperatif dengan bersedia membayar denda. Pengadilan harus memutuskan suatu perbuatan yang didakwakan kepada seseorang, dalam hal ini Suwir Laut, bukan Asian Agri Group," tandas Romli.

Dia juga mengungkapkan, dalam kasus ini telah terjadi error in persona atau suatu dakwaan atau gugatan dialamatkan kepada orang yang salah. Oleh karena itu, aset perusahaan tidak boleh disita karena tidak terkait. Selain itu, putusan tersebut juga non executable atau tidak berdasar. Karena dari 14 perusahaan yang bernaung di bawah AAG, 8 diantarnya telah membayarkan pajaknya. Sementara 6 perusahaan lainnya masih dalam proses penyelesaian.

Ramli lebih jauh mengatakan, situasi dilematis seperti ini bisa menjadi ancaman bagi iklim usaha di Indonesia. Karena dengan kasus ini membuat pengusaha takut berinvestasi, akibat tidak adanya ketidakpastian hukum.

Sementara menurut mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Machfud Sidik, kasus pajak Asian Agri bukan tergolong dalam kasus pidana, melainkan kasus administrasi pajak. Dimana kalau pajak beserta dendanya sudah dibayarkan oleh penunggak pajak, maka kasusnya dianggap selesai.

"Kalau melihat urutannya dari pengadilan pajak sampai ke MA, itu merupakan kasus administrasi pajak. Jadi kalau Asian Agri sudah membayar pajak berikut dendanya, ya kasus itu dianggap selesai," jelas Mahfud.

Tidak Masuk Akal

Pengamat ekonomi Faisal Basri menilai, sanksi denda dan pembayaran pajak Asian Agri sangat tidak masuk akal. Karena bagaimana mungkin Asian Agri menggelapkan pajak sebesar Rp1,25 triliun yang sama dengan pendapatannya pada tahun bersangkutan (2002 2005-red). “Ini tidak rasional dan berpeluang untuk ditinjau kembali.”

Menurut Faisal, untuk menghindari sentimen pihak-pihak tertentu, seharusnya perhitungan atas pajak Asian Agri tersebut mengacu kepada laporan keuangan perusahaan. Bukan hanya berdasarkan laporan orang atau pihak tertentu.

Dia menduga, seperti juga terjadi dalam banyak sengketa pajak -- ada pihak tertentu yang sengaja menggiring opini publik untuk menyalahkan wajib pajak. Karena itu, harus dilihat latar belakang permasalahan dan melihat latar belakang orang-orang yang memutuskannya.


Asian Agri masih jauh lebih baik dibandingkan kebanyakan perusahaan sawit lainnya. Karena merupakan salah satu pembayar pajak yang cukup besar. Masih banyak perusahaan sawit besar yang malah membayar pajak dengan nilai sangat kecil,” tambahnya
(***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar