Rabu, 09 Januari 2013

Kebijakan ‘Setengah Hati’ Pemerintah di BNN



Kebijakan pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak solar, mungkin bisa dibilang sebagai kebijakan yang hanya ‘setengah hati’. Karena faktanya, walaupun telah memiliki payung hukum yang diterbutkan sejak tahun 2006 lalu, nyatanya hingga kini belum juga berjalan seperti yang diharapkan.

Sebagaimana diketahui, kebijakan mengenai pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar alternative pengganti minyak solar telah dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) atau biofuel.

Inpres Nomor 1/2006 pada dasarnya merupakan instruksi internal yang diarahkan pada 15 pejabat negara, yang merupakan keharusan untuk mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuels) sebagai bahan bakar lain.

Instruksi tersebut ditujukan untuk lain Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian), Menteri ESDM, Mentan, Menteri Kehutanan (Menhut), dan Menteri Perindustrian (Menperin). Kemudian, Menteri Perdagangan (Mendag), Menteri Negara Riset dan Teknologi (Ristek), Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Meneg Koperasi dan UKM), Menteri Negara BUMN, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Gubernur, dan Bupati/Walikota. 

Instruksi tersebut selanjutnya dipertegas melalui Peraturan Menteri  (Permen) ESDM No 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, kewajiban melakukan pencampuran BBN ke dalam BBM berkisar 1%-5%. Dalam aturan tersebut juga disebutkan kadar campuran biofuel dalam BBM tersebut akan ditingkatkan menjadi 5%-10% mulai Januari 2015.

Bahan Baku Bahan Bakar Nabati
Tapi walau demikian, pengembangan bahan bakar alternatif berbasis minyak sawit ini, tidaklah semudah yang dibayangkan. Karena menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila) Bustanul Arifin, minyak sawit ini juga merupakan kebutuhan yang cukup diperlukan oleh manusia, khususnya untuk pangan. Sehingga secara tidak langsung terjadi persaingan, antara kebutuhan minyak sawit untuk manusia dan  untuk mesin.

Selain itu, berdasarkan pengalaman, akibat meningkatnya penggunaan CPO untuk biofuel, telah membuat harga CPO melambung tinggi, seperti yang terjadi pada tahun 2007 dimana hanrganya hingga melampaui US$ 772 per ton. Itu merupakan rekor tertinggi CPO dalam 23 tahun terakhir. Bahkan dibandingkan tahun 2006, kenaikan harganya hingga mencapai 60%. Karena tahun itu harga komiditas ini rata-rata hanya US$ 478 per ton.

Akibatnya,banyak industri pengolahan biofuel yang mengurangi produksinya. Padahal berdasarkan “Blueprint Energi Nasional” pada tahun 2007 itu ditargetkan produksi biodiesel sebanyak 100 ribu kiloliter (KL). Sementara kebutuhan minyak solar dalam negeri diperkirakan mencapai 13,2 juta KL. Dimana dari produksi biodiesel tersebut, minyak sawit diharapkan dapat menyumbang sebanyak 125 ribu KL.

Derom Bangun
Hal ini pun diamini oleh Derom Bangun. Menurut dia, sejak diterbitkannya Perpres dan Inpres mengenai minyak nabati tersebut, beberapa investor mulai membangun pabrik biodiesel di Indonesia dengan menggunakan bahan baku minyak  sawit mentah. Dimana hasil produksinya, selain dijual di dalam negeri juga diekspor ke Uni Eropa dan AS.

Sayangnya, kini Uni Eropa dan AS membuat standar yang tinggi untuk menggunakan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel. Malah di Eropa, kini CPO tidak diperkenankan lagi digunakan sebagai bahan baku biodiesel, karena dinilai merusak lingkungan.

Akibatnya, pabrik biodiesel yang dibangun investor di dalam negeri tidak berjalan optimal. Begitupun dengan kondisi saat ini. Walaupun harga CPO sangat rendah, tapi industri biodiesel tak juga bisa diharapkan. Apalagi penyerapan di dalam negeri juga masih sangat terbatas.

Sementara Sekretaris jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan berpendapat, masalah peningkatan penggunaan biofuel sebagai campuran BBM, sangat tergantung pada keseriusan dan konsistensi pemerintah atas kebijakan ini. 

Karena selain tidak diikuti dengan ketentuan yang mewajibkan kendaraan berbahan bakar solar untuk menggunakan campuran biofuel, kebijakan ini juga tidak dibarengi dengan pembangunan infrastruktur pendukung. Termasuk juga infrastruktur pengangkutan biofuel dari Jawa untuk memenuhi kebutuhan industri pertambangan di luar Jawa.

Menurut Paulus, dalam pemanfataan biofuel ini pada dasarnya tidak ada beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah, seperti yang selama ini terjadi pada BBM. Karena dengan harga jual yang mencapai Rp 8.300 per liter, seperti saat ini, biofuel sudah cukup kompetitif dari harga solar industri. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar