Selasa, 08 Januari 2013

Ketika CPO Bergantung pada Sektor Migas



Rendahnya harga minyak sawit mentah (CPO) akhir-akhir ini, tentu saja membuat gerah banyak pihak. Harapan besar pun diembankan pada pemerintah, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pemerintah diharapkan meningkatkan pemanfaatan CPO sebagai pengganti minyak solar bagi kendaraan bermotor.
 
Harapan ini pun terlontar dari Menteri Pertanian (Mentan) Suswono. Bahkan dia dengan yakin mengatakan, pemerintah akan mendorong penggunaan CPO untuk bahan baku biofuel. Sebab, menurut penilaiannya, dengan dimanfaatkannya CPO sebagai bahan bakar nabati (BBN) atau Biofuel, akan sangat efektif untuk mengantisipasi penurunan harga minyak kelapa sawit akhir-akhir ini.

“Jika program penggunaan minyak nabati sebagai biofuel dapat dipercepat, sehingga tidak terlalu banyak disimpan, maka harga dapat bergerak naik,” ujarnya usai Sosialisasi Sustainable Palm Oil Initiative on Smallholders Kementrian Pertanian dan UNDP, belum lama ini.

Hal senada pun sebelumnya dilontarkan oleh Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun. Bahkan menurut dia, peningkatan penggunaan minyak sawit untuk biodiesel itu, bukan hanya akan mendongkrak harga CPO di dalam negeri, tapi juga akan mendongkrak harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani.

“Jika penggunaan biodiesel ditingkatkan 5% saja, maka setiap tahun mampu menyerap lebih satu juta ton CPO,” ujarnya dalam sebuah kesempatan.

Suswono
Keinginan ini tentu sangat beralasan. Karena selain pasokan yang melimpah, hampir sepanjang tahun 2012, harga CPO mengalami penurunan yang cukup drastis. Bahkan pada akhir 2012, harganya hanya mencapai US$ 760 per metrik ton (MT). Pemicunya adalah antara lain krisis ekonomi di negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS). Belum lagi pengaruh penundaan pembelian oleh India dan Cina, yang terkena imbas atas krisis keuangan global tersebut.

Pun halnya dengan tahun 2013 ini, harga CPO diperkirakan masih belum pulih dari keterpurukannya. Di Malaysia Derivatives Exchange misalnya, harga CPO untuk pengiriman bulan Februari 2013 tercatat hanya RM 2.230 per MT, yang merupakan harga terendah sejak tahun 2009. Pelemahan harga CPO di tahun 2013 ini, dperkirakan masih akan berlangsung hingga kuartal pertama, yaitu hingga bulan Maret.

Padahal di sisi lain, pasokan dan produksi CPO, baik dari Indonesia dan Malaysia –sebagai produsen terbesar dunia, terus mengalami peningkatan. Di Indonesia saja, seperti yang diungkapkan Mentan Suswono, pada tahun ini produksi CPO nasional ditargetkan mencapai 25 juta ton, atau naik dibandingkan dengan realisasi produksi tahun 2012 yang sebanyak 23 juta ton.


Tengah Dikaji PLN

Sayangnya, sampai detik ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak-pihak terkait, khsusunya dari Kementerian ESDM dan Pertamina untuk berupaya meningkatkan penggunaan CPO sebagai bahan bakar pengganti minyak solar. Hanya PT PLN (Persero) yang belum lama ini menyatakan ketertarikannya untuk menggunakan CPO sebagai pengganti minyak solar di pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD)-nya.

PLN, seperti yang dilontarkan oleh Direktur Utama (Dirut)-nya Nur Pamudji, tengah melakukan kajian untuk menggunakan CPO sebagai sumber energi di pembangkit-pembangkitnya. "Saat ini kami memang sedang melakukan pengamatan dan kajian untuk mengganti minyak solar yang digunakan di pembangkit dengan CPO,” ujar Nur Pamudji dalam sebuah kesempatan.

Menurut dia, penggunaan CPO sebagai pengganti minyak solar di pembangkit tersebut sangat dimungkinkan, karena rendahnya harga CPO, dibadingkan harga minyak solar. Dan dia yakin, penggunaan CPO sebagai pengganti minyak solar bisa mencapai 90 persen dari total penggunaan minyak diesel oleh PLN.

Nur Pamudji juga mengungkapkan, pengalihan dari minyak solar ke CPO pada mesin pembangkit listrik PLN, sebenarnya pernah dilakukan pada tahun 2007, saat harga CPO juga tengah turun. Tapi karena harganya kembali naik, maka pemakaian itu dihentikan dan PLN kembali menggunakan minyak solar. “Dan karena sekarang harga CPO cenderung turun, makanya kita akan coba terapkan kembali," jelas dia.

Mencapai 7,5 Persen

Kementerian ESDM menyebutkan, sejak bulan Februari 2012 lalu, sebenarnya total biodiesel yang dicampurkan dalam minyak solar bersubsidi telah mencapai 7,5%. Atau meningkat sebanyak 2,5% dari pencampuran sebelumnya yang hanya 5%.

“Saat ini realisasi persentase pencampuran BBN ke BBM bersubsidi sudah mencapai 7,5%. Sementara realisasi produksi biodiesel mencapai 2 juta KL atau mengalami kenaiakan 37% disbanding tahun 2011,” papar Menteri ESDM Jero Wacik dalam konperensi pers Kinerja Sektor ESDM Tahun 2012, barbaru ini.

Jero Wacik
Wacik juga mengungkapkan, pada tahun ini pihaknya menargetkan bauran energy (energy mix) biodiesel dan energy terbarukan lain maish sama dengan tahun 2012, yaitu sebanyak 0,52%.

Selain meningkatkan campuran biodiesel dalam minyak solar bersubsidi, menurut Direktur Bioenergi Dirjen Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, sejak awal Mei 2012 lalu, pemerintah juga telah mewajibkan badan usaha niaga untuk mencampurkan biodieselsebesar 2% kedalam BBM nonsubsidi yang dijual di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Tergantug Harga FAME

Bagi Pertamina, besar kecilnya pemanfaatan biofuel sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak solar, sangat tergantung pada harga fatty acid methyl ester (FAME). Selama harganya tetap tinggi, maka pemanfaatan biosolar akan sulit berkembang.

Menurut VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Ali Mundakir, pemanfataan FAME bermanfaat untuk menekan impor solar demi memenuhi kebutuhan pasokan BBM bersubsidi.
FAME merupakan komponen blending BBN untuk minyak solar yang diproses secara transesterifikasi dengan metanol. 

Sayangnya, sampai saat ini belum ada harga publikasi FAME yang dapat dijadikan acuan bersama, baik oleh konsumen atau produsen. Karena itu, diperlukan formulasi harga FAME sebagai acuan penentuan nilai komersial yang realistis. Formula harga yang dibentuk berdasarkan pada proses bisnis BBN.

Padahal menurut Ali, bagi pelaku bisnis biofuel, penataan pasar dan harga merupakan hal penting. Karena untuk dapat berkembang, mestinya harga biofuel harus mampu berkompetisi dengan BBM subsidi. Sebab masyarakat sendiri tentu lebih memilih BBM yang lebih murah. 

Dampak dari tanpa penataan pasar dan harga, lanjutnya, biofuel jadi inferior. Sehingga kerap kali, harga FAME atau biodiesel dari minyak sawit, per liternya lebih mahal dari harga jual setelah di-blending dengan solar.

Pertamina sendiri, menurut Ali, sejak 15 Februari 2012 lalu telah meningkatkan pemanfaatan FAME untuk minyak solar (menjadi produk biosolar) dari 5% menjadi 7,5%. Tujuannya tak lain, untuk mengoptimalkan pemanfaatan BBN, sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional untuk meningkatkan porsi penggunaan EBT.

Sementara di sisi lain, juga ada bahan bakar gas (BBG) yang dinilai oleh Pertamina sebagai solusi yang paling masuk akal untuk masalah kebutuhan bahan bakar. Dengan melakukan konversi BBM ke BBG. “Memang yang paling realistis, unjtuk gantikan BBM dipakai gas untuk mengangtikan BBM. Karena secara ekonomis memungkinkan. Tapi itu pun harus didukung komitmen pemerintah, terutama untuk pembangunan infrastrukturnya,” papar dia. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar